Percepatan Pembangunan Sepak Bola Nasional

Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi berbincang dengan Menpora Imam Nahrawi dan Ketua Umum KONI Pusat Tono Suratman dalam Rapat Kabinet Terbatas Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional di Istana Negara, Selasa (24/1/2017). Sumber: Sekretariat Kabinet
 
Presiden Joko Widodo sangat menyadari aura magis Tim Nasional Sepak Bola Indonesia dalam menyatukan bangsa. Bahkan, barangkali sanggup melampaui wibawa sang RI-1.
Ketika aksi 4 November 2016 memprotes dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama muncul, negeri ini seperti terbelah. Sejak 10 November, Presiden bersafari ke markas TNI, tokoh politik, hingga pemuka agama. Presiden terus menekankan pentingnya bangsa ini menjaga persatuan di tengah kebhinekaan.
Namun, aksi massa yang lebih hebat malahan terjadi pada 2 Desember 2016. Blusukan Presiden memang sanggup meredam bentrok massa, tetapi kita masih dapat merasakan sentimen agama dan ras kian mengental.
Di tengah suasana itulah Piala AFF 2016 berlangsung. Inilah turnamen resmi pertama Timnas Indonesia setelah terkena sanksi FIFA lebih dari setahun. Pemerhati sepak bola sejak awal pesimis, apalagi Garuda bergabung dengan Thailand, Filipina, dan Singapura.
Siapa menduga, kondisi berbalik 180%. Dengan dinaungi keberuntungan, Timnas berhasil melaju dari fase grup, melangkah ke final, dan bahkan menang di leg pertama saat bersua Thailand di partai puncak itu. Boaz Solossa dkk memang gagal membawa pulang piala, tetapi hasil runner-up Piala AFF sudah melebihi ekspektasi.
Itu dari segi permainan. Namun, efek penampilan di lapangan hijau itu menjalar dalam kehidupan kebangsaan kita. Rakyat seantero negeri, dari Sabang sampai Merauke, mendukung penuh penampilan Timnas. Perbedaan agama, suku, ras di dalam bangsa ini diwakili oleh para pemain di lapangan. Sejenak orang melupakan kasus penistaan agama. Elit politik dan pemerintah melulu ditanyai soal sepak bola.
Mungkin tidak ada yang bisa menyatukan bangsa ini dengan cepat tanpa mengorbankan biaya dan nyawa selain sepak bola. Kita pernah bersatu ketika menghadapi bangsa asing dalam perang, tetapi itu juga dibayar dengan darah dan uang. Kita juga bersatu ketika bencana alam datang, tetapi kita butuh waktu lama untuk menghilangkan trauma kemanusiaan.
Karena itu ketika hari ini, Selasa (24/1/2017), Presiden Jokowi menggelar Rapat Kabinet Terbatas Percepatan Pembangunan Persepakbolaan Nasional, saya sangat gembira. Jika benar ini adalah kali pertama rapat kabinet yang khusus membahas sepak bola, langkah pemerintah sangat tepat.
Presiden Jokowi sebagaimana para pendahulunya adalah maniak sepak bola. Orang-orang tidak menganggap ada politisasi ketika Presiden menonton laga Timnas saat berhadapan dengan Vietnam di Stadion Pakansari, Bogor, saat semifinal leg pertama semifinal Piala AFF lalu.
Perhatiannya untuk sepak bola sudah ada semenjak membina Persis Solo dan Persija Jakarta sebagai kepala daerah di Kota Surakarta dan Provinsi DKI Jakarta. Presiden jugalah yang menginstruksikan Menpora Imam Nahrawi agar membekukan kepengurusan PSSI pada April 2015 yang berbuntut sanksi FIFA. Pertimbangannya, sanksi akan membuat Indonesia melakukan pembenahan total. Ini memang harapan banyak pencinta bola meski ada juga penentangan.
Selama dijatuhi sanksi, Indonesia betul-betul memperbaiki diri. Puncaknya, ketika Presiden melakukan safari politik 10 November, pada hari yang sama Edy Rahmayadi terpilih menjadi Ketua Umum PSSI. Selama dua bulan ini, pembenahan total dilakukan. Rekonsiliasi untuk klub dan individu diwujudkan demi mengakhiri dendam yang hanya akan melahirkan dendam baru sehingga pasti tidak berkesudahan.
PSSI sudah memilih Luis Milla sebagai pelatih Timnas U-22 dan Senior; Indra Sjafri arsitek Timnas U-19; dan Fachry Husaini ditunjuk menukangi Timnas U-16. Langkah PSSI ini hendak menunjukkan semangat seperti dulu: bahwa tim nasional adalah muara dari segala percepatan pembangunan sepak bola yang kini dimulai. Timnas adalah tujuan, sedangkan klub, kompetisi, stadion, dan industri sepak bola adalah alat untuk mencapai visi itu.
Jujur, baru kali ini saya merasakan sepak bola Indonesia berada dalam frekuensi yang sama. Presiden percaya kepada PSSI, PSSI percaya kepada Menpora, dan tentu saja bangsa Indonesia juga percaya kepada PSSI. Tidak ada kecurigaan PSSI akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik sempit atau motif komersial kelompok seperti dulu.
Hari ini, dengan petunjuk dari Istana, percepatan sepak bola kita dimulai. Tentu saja kita berdoa agar Tuhan melihat ikhtiar bangsa ini dan tidak lama lagi memberikan kita gelar juara di ajang sepak bola tingkat Asean, Asia, dan dunia.
Sumber gambar: Sekretariat Kabinet

Komentar

Terpopuler

Perempat Final Sensasional di Piala Asia U-23

Hasil Ultra Petita dari Shin Tae-yong

Level Tinggi Garuda Muda