Ratapan Arek Malang



Bila ada bentrok antarsuporter sepak bola, kita bisa menyebutnya sebagai ‘insiden’. Jika terdapat korban luka dari bentrok tersebut, istilahnya berganti menjadi ‘kemalangan’. Manakala ternyata jatuh korban meninggal, terminologi ‘tragedi’ mungkin sudah memadai. Apa jadinya jika ternyata korban jiwa mencapai puluhan atau ratusan? 

Sewaktu terjadi kerusuhan suporter sepak bola di Port Said, Mesir, pada Februari 2012 silam, tepat melabelkannya sebagai malapetaka. Berita tersebar ke seluruh dunia mengabarkan kematian 70 lebih korban jiwa akibat amuk massa antarfans. Bagaimana bisa sepak bola berakhirkan air mata dan darah? Bukankah sepak bola seharusnya memberikan keriangan bagi yang menang atau pengharapan bagi yang kalah? Keduanya sama sekali tidak menuntut pengorbanan nyawa. 

Pagi tadi saya membaca berita di internet mengenai kerusuhan usai laga Liga 1 antara Arema Malang dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan Malang, Sabtu malam, 1 Oktober 2022. Saya rasa kerusuhan bukanlah berita apabila menyangkut Singo Edan versus Bajul Ijo. Setiap orang yang pernah tinggal di Malang atau Surabaya pasti tahu bagaimana rivalitas keduanya. 

Ketika disebutkan dalam artikel berita angka ‘127’ saya kira itu cuma korban cedera. Setelah membaca isinya, ternyata bukan korban luka, tetapi meninggal dunia! Saya membaca ulang sampai utuh mengingat kebiasaan media daring zaman sekarang yang suka memelintir dan membolak-balik konten. Setelah membaca lagi dan mengonfirmasi berita lain, benar bahwa angka ‘127’ adalah nyawa manusia yang hilang akibat kerusuhan itu.

Sudah pasti jumlah korban meninggal dunia akan bertambah. Siang ini saya membaca perkembangan terbaru bahwa korban tewas membengkak menjadi 180 orang. Entah berapa lagi nyawa yang jatuh malam ini atau besok. 

Pemicu kematian suporter berseliweran di berbagai pemberitaan. Yang paling fatal adalah tembakan gas air mata oleh petugas keamanan ke tribun penonton. Memang ada suporter yang turun ke lapangan dan berbuat ricuh setelah Arema kalah 2-3 dari Persebaya. Namun, tembakan gas air mata tidak hanya dialamatkan kepada perusuh, tetapi orang yang tetap berdiam di tribun. Dengan rasa mata perih dan dada sesak, penonton berhamburan ke luar, tetapi pintu stadion terlalu kecil untuk dapat dilalui oleh ribuan manusia secara bersamaan. Di sinilah korban berjatuhan entah akibat sesak nafas atau terinjak.

Kejadian ini tentu patut disesalkan. Dalam pikiran terburuk siapa pun, korban meninggal puluhan hanya bisa terjadi bila benar-benar terjadi bentrok antarsuporter. Akan tetapi, faktanya, tidak satu pun suporter Persebaya atau Bonek di Kanjuruhan tadi malam. Selama puluhan tahun ini, laga Persebaya versus Arema, entah di Malang atau Surabaya, hanya dapat ditonton langsung oleh suporter tuan rumah. 

Suporter, panitia pertandingan, penyelenggara liga, aparat keamanan, pemegang hak siar, hingga PSSI, tanpa terkecuali, harus introspeksi diri. Mesti pula ada pertanggungjawaban secara etika, administratif, hingga kalau perlu pidana. Tidak boleh ada satu pun yang bisa melenggang bebas dari peristiwa hilangnya nyawa ratusan orang dalam sebuah pertandingan sepak bola. Jika mereka bebas, tinggal tunggu saja kejadian serupa terulang. 

Yang bikin pedih, peristiwa ini terjadi ketika arah sepak bola Indonesia sudah semakin baik. Timnas senior mampu menembus Piala Asia setelah 15 tahun dan mampu menumbangkan negara berperingkat 100 besar. Tren membaik juga terekam pada timnas level usia lebih muda. 

Sialnya, kompetisi antarklub masih dikelola secara alakadar. Ingatlah bahwa puluhan tahun lalu penampilan timnas jeblok karena berhulu pada liga yang penuh kecurangan. Pembelahan kompetisi nasional dan klub juga menggiring FIFA untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia sehingga timnas tidak boleh tampil di kejuaraan internasional. 

Memang ada tragedi yang mengorbankan nyawa suporter di waktu itu, tetapi tidak sampai ratusan jiwa. Di Indonesia, korban ratusan dalam satu peristiwa biasanya saat bencana alam atau kecelakaan moda transportasi. Saat pandemi Covid-19 pun, korban meninggal dunia ratusan dalam sehari terpencar di berbagai kota atau provinsi. Namun, ratusan korban meninggal di satu momen dan tempat seperti peristiwa Kanjuruhan adalah sangat jarang. 

Menyebut peristiwa di Malang sebagai bencana saya kira tidak tepat. Bagaimana pun, istilah bencana lebih disebabkan faktor alam. Sementara kejadian Kanjuruhan adalah murni akibat keteledoran manusia. 

Hanya ‘malapetaka’ istilah tersisa dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan kematian ratusan Aremania semalam. Kata itu pun menurut masih saya kurang kuat mengingat banyaknya korban jiwa yang jatuh dalam sebuah pertandingan sepak bola. Kita berdoa agar malapetaka ini tidak terulang lagi entah di Malang, Indonesia, maupun di berbagai penjuru dunia.

Komentar

Terpopuler

Perempat Final Sensasional di Piala Asia U-23

Hasil Ultra Petita dari Shin Tae-yong

Level Tinggi Garuda Muda