AC Milan Hampir Mengecewakan Italia
![]() |
sumber gambar: acmilan.com |
Sekiranya gagal lolos ke babak perempat final Liga
Champion musim ini, lengkaplah predikat AC Milan sebagai klub “pemberi rekor”. Menang
4-0 dari Arsenal di leg pertama membuat leg kedua 16 besar begitu mudah bagi I
Rossonerri. Tapi, menilik masa lalu, kemenangan besar itu justru bisa jadi
momok.
Dalam satu dekade lalu saja, AC Milan dua kali "memberi
rekor" di keikutsertaannya di Liga Champion. Perempat final musim 2003/2004, tim asal kota
Milan ini begitu meyakinkan ketika mengalahkan Deportivo La Coruna, 4-1 di San Siro. Tapi
di Riazor, Super Depor berhasil membalikkan keadaan dengan unggul 4-0. Tidak
ada yang menyangka, tim yang sangat berpengalaman di liga Eropa bisa takluk
dari klub “bau kencur” asal Spanyol itu.
Namun, peristiwa pertama itu tidak bisa mengalahkan
apa yang terjadi di Istambul, musim 2004/2005. Inilah babak pemuncak untuk
menasbihkan diri siapa tim terbaik di Eropa. AC Milan berhadapan dengan Liverpool
yang dilatih oleh pelatih asal Spanyol, Rafael Benitez.
Dimulailah drama itu. Sheva dkk. unggul 3-0 di babak
pertama. Konon, anak asuh Carlo Ancelotti sudah berpesta di ruang ganti. Tapi
tampaknya mereka lupa bahwa sepak bola itu adalah pertandingan 90 menit. Pun,
lupa bahwa tiga tahun sebelumnya mereka pernah mengalami nasib tragis di tangan
Deportivo La Coruna.
Kemudian mukjizat terjadi. Gerrad dkk. menjebol gawang
Dida sebanyak tiga kali dalam tempo kurang dari sepuluh menit! Hasil imbang ini
bertahan hingga peluit wasit berbunyi. Tambahan waktu juga tidak mampu
menghasilkan gol sehingga penalti harus dilakukan. Saya yang saat itu yakin
bahwa AC Milan bakal membawa trofi ketujuhnya, harus melihat yang sebaliknya. Liverpool,
klub kebanggan kota asal The Beatles itu, memenangi duel dan penta campeon masuk ke almari Anfield.
Dua kejadian menyesakkan itu menjadi aib tersendiri bagi
Il Diavollo Rosso. Betapa tidak, di kala sebuah tim tertinggal dengan skor
cukup telak, maka AC Milan akan dijadikan contoh bahwa tidak ada yang tidak
mungkin dalam sepak bola. Bagi Rossonerri, itu menjadi pengingat untuk tidak
berulang kembali.
Inilah yang mungkin terus menghantui segenap punggawa San
Siro ketika hendak bertandang ke markas Arsenal. Empat gol tanpa balas tidak
bisa menjadi jaminan. Dan itu pula yang bisa kita lihat pada pertandingan dini
hari tadi. Ibra dkk. tampak gugup dengan dukungan suporter Arsenal. Gol cepat
dari Koscielny dengan sekejap memacu anak asuh Arsene Wenger untuk menambah gol
demi gol. Benarlah, Rosicky dan Van Persie menyarangkan bola ke gawang Abbiati,
untuk menutup babak pertama. Tinggal satu gol lagi untuk, paling tidak, melanjutkan
pertandingan ke babak perpanjangan waktu.
Namun sayang, satu gol itu tidak muncul-muncul jua. Peluang-peluang
yang ada terkesan percuma. Sampai wasit meniup peluit, skor tidak juga berubah.
Sejarah tidak mau berulang kali ini.
Arsenal boleh berbangga diri dengan kegagalan mereka
kali ini. Tren positif di liga Inggris dengan menaklukkan Tottenham Hotspurs
dan Liverpool menular ke pertandingan semalam meski tidak berhasil meloloskan
mereka ke babak selanjutnya. Bagi AC Milan, mereka mungkin perlu menjadikan hasil
ini sebagai pelajaran. Bukan tak mungkin, di babak-babak selanjutnya setiap
musuh Rossonerri akan memanfaatkan situasi psikologis yang sangat tidak
mengenakkan tersebut.
Meski saya seorang interisti, pada Liga Champion kali
ini saya akan mendukung AC Milan. Bukan apa-apa, melajunya tim-tim asal Italia
akan menambah koefisien Liga Italia yang menentukan jatah kontestan di liga-liga
Eropa. Sudah bukan rahasia lagi jika dalam beberapa tahun ini, Inter Milan
seakan berjuang sendirian di Eropa sehingga poin liga Italia turun. Alhasil,
musim depan, jatah Negeri Pizza di Liga Champion menciut jadi tiga.
Syukurlah, AC Milan urung mengecewakan publik Italia
dan penggemar Lega Calcio di penjuru dunia. Semoga diikuti juga oleh Napoli dan
tentu saja: Internazionale Milano…
Komentar
Posting Komentar