Barcelona dan Pelatih dari Ujung Dunia



Siapa Gerardo “Tata” Martino? Hanya sedikit orang yang mengenal nama satu ini. Tapi dalam beberapa hari namanya melambung setelah dipinang sebagai pelatih klub raksasa Spanyol, FC Barcelona.

Mungkin banyak orang merasa, termasuk saya, bahwa dominasi El Barca di sepak bola selama 4 tahun ini negatif. Dominasi itu seakan manifestasi dari dominasi gaya tiki-taka di atas lapangan hijau. Tiki-taka adalah penguasaan bola!

Meski demikian, ada sebuah filosofi dasar yang membuat kita salut dengan klub ini. Filosofi itu adalah konsistensi klub Catalan ini untuk melahirkan bintang, bukan sekedar mengambil bintang. Ini adalah filosofi yang patut ditiru dalam sepak bola. Bahwa klub ini juga punya ideologi politik untuk kemerdekaan “bangsa” Catalan dari Spanyol, itu soal lain.

Bintang yang dicetak Barcelona tidak hanya pemain produk akademi La Masia. Barcelona juga melahirkan pelatih. Yang membedakan, proses ini bukan dilakukan dalam sebuah akademi kepelatihan, tapi murni ketajaman intuisi manajemen Barcelona untuk merekrut pelatih biasa-biasa untuk kemudian menjadikan mereka luar biasa.   

Johan Cruyff adalah contoh awal. Sebagai pemain, namanya melambung tinggi. Ajax Amsterdam dibawanya merajai Eropa pada awal 1970-an. Tidak hanya prestasi, Cruyff dikenal sebagai pemain yang mempopulerkan gaya Total Football. Sayang, Total Football yang dirancang oleh pelatih Rinus Michels ini tidak membuahkan trofi bergengsi.

Pascapensiun, Cruyff menjadi pelatih. Sempat menukangi Ajax selama tiga musim, di Barcelonalah meneer ini merengkuh kesuksesan. Menjadi “arsitek” selama tahun 1988-1996, Cruyff membawa Barcelona juara Liga Spanyol sebanyak empat kali. Tapi yang paling diingat adalah ketika Barcelona merengkuh trofi Piala Champion pertama pada tahun 1992. Setelah melatih Barcelona, Cruyff tidak pernah lagi melatih tim besar.

Jejak sukses ini diikuti oleh meneer Belanda lainnya, Frank Rijkaard. Sebagai bagian dari trio maut Belanda bersama Ruud Gullit dan Marco van Basten, Rijkaard tidak begitu baik sebagai pelatih. Ia sempat dipercaya menukangi Belanda, tuan rumah Euro 2000. Perjalanan De Orange di babak awal hingga perempat final cukup meyakinkan. Sayang, di babak semifinal, Frank de Boer dkk tidak bisa menembus tembok kokoh Italia di bawah Francesco Toldo.

Dengan rekam jejak yang tak mentereng ini, Barcelona merekrutnya pada tahun 2003. Padahal saat itu di La Liga, pesaing abadinya Real Madrid  sudah dihuni para “galacticos” seperti Zidane, Figo, Ronaldo, dan baru membeli David Beckham. Tentu sulit bagi Barcelona untuk bersaing, tidak hanya dengan El Real, tapi dengan Valencia yang dilatih Rafael Benitez.

Pada musim baru itu, Blaugrana hanya mendatangkan raja gocek dari Brazil, Ronaldinho. Barcelona memang tidak juara di akhir musim. Tapi memberi harapan. Untuk musim berikutnya, Barcelona membeli Samuel Eto’o dan Deco de Souza. Rijkaard dengan tiga bintangnya ini kemudian mampu menaklukkan La Liga selama dua musim, 2004/2005 dan 2005/2006. Trofi Liga Champion juga masuk lemari Barca di musim 2005/2006.

Keberhasilan Barca tidak berlanjut. Real Madrid mendatangkan Fabio Capello yang berbuah trofi di musim 2006/2007. Sakit, inilah yang dirasakan Barcelona karena mereka hanya sanggup menjadi runner-up karena kalah head-to-head, padahal poin dua klub raksasa ini sama.

Masa-masa buruk Barcelona berlanjut di musim berikutnya. Kembali sang musuh abadi menjadi juara. Di level Eropa, Barcelona hanya bisa menapaki babak semifinal. Perombakan besar-besaran dilakukan. Ronaldindo dan Deco ditendang dari Nou Camp. Rijkaard pun mengalami nasib yang sama dengan dua anak emasnya ini.

Tanpa perlu repot-repot, manajemen yang dipimpin Juan Laporta menunjuk Josep Guardiola, pelatih Barcelona B, naik pangkat. Sebuah keputusan berani, karena Pep tidak pernah melatih tim besar, apalagi membawa juara turnamen bergengsi.

Akan tetapi intuisi manajemen kembali berbuah manis. Di musim pertamanya, 2008/2009, Pep langsung meraih treble winner. Meskipun cuma dapat juara La Liga musim berikutnya, tapi prestasi Barcelona tidak menurun. Pada musim 2010/2011, Pep membawa timnya merebut La Liga dan Liga Champion.

Musim itu menjadi musim manis terakhir bagi Pep. Jose Mourinho yang didatangkan Real Madrid berhasil mengakhiri dominasi Barcelona di La Liga pada musim 2011/2012. Pep pun mengakhiri masa jayanya di akhir musim itu.

Kisah manis ini ingin dilanjutkan Barcelona pada musim lalu. Tito Vilanova, bekas asisten Pep, ditunjuk melatih Messi dkk. Sayang, meski berhasil juara La Liga, Tito memilih mengundurkan diri musim ini karena ingin konsentrasi menyembuhkan penyakitnya.Sempat melirik Jupp Heynckes dan ditolak, Barca kembali ke tabiatnya yang biasa: melirik pelatih tanpa nama besar. Martino memang pernah membawa tim yang dilatihnya juara.

Tapi itu dilakukannya di “ujung dunia”, Argentina, bersama klub Newell’s Old Boys. Paus Fransiskus yang juga seorang Argentina ketika dipilih menjadi paus pada Maret lalu bercanda bahwa, “Para kardinal sampai perlu mencari seorang paus dari ujung dunia,” merujuk pada kampung halamannya di Argentina yang memang terletak belahan bumi selatan.

Sebagaimana para kardinal Gereja Katolik, Barcelona pasti memiliki alasan memilih seorang pelatih yang tidak berasal dari Eropa, serta tidak pernah melatih tim di Benua Biru. Alasan itu tak lain adalah pengalaman sukses bersama Cruyff, Rijkaard, dan Guardiola. 

Sumber gambar di sini

Komentar

Terpopuler

Perempat Final Sensasional di Piala Asia U-23

Hasil Ultra Petita dari Shin Tae-yong

Level Tinggi Garuda Muda