Berkaca dari Tiga Laga Piala Asia 2023



Bagaimana menilai permainan Timnas Indonesia selama Piala Asia 2023? Pertandingan terakhir melawan Jepang yang baru saja selesai, Rabu malam, 24 Januari 2024, bisa membuka cakrawala kita.

Di laga ketiga Grup D tersebut, Garuda kalah 1-3 dari Samurai Biru. Timnas pun tertahan di peringkat tiga klasemen dengan tiga poin. Posisi ini masih berpeluang ketiban jatah babak 16 besar sampai tim-tim di Grup E dan F menuntaskan laga mereka besok. 

Sejak 2007, pecinta sepak bola nasional hanya bisa mengukur penampilan Timnas senior dari persaingan dengan sesama tim Asia Tenggara. Hasil akhir di Piala AFF  menjadi barometer kesuksesan. Karena lawannya “itu-itu saja”, kita memandang menang melawan Vietnam, Malaysia, Thailand, atau Singapura adalah target utama. Sialnya, satu dari lawan itu selalu menjadi tembok buat Garuda merengkuh trofi.

Akan tetapi, keberhasilan Indonesia lolos ke Piala Asia 2023, pertama kali sejak hampir 20 tahun, mengubah kultur itu. Timnas harus mencari lawan-lawan kuat dari berbagai benua. Tidak bisa lagi pertandingan uji coba atau persahabatan diplot untuk sekadar pamer kemenangan dari negara-negara lemah. Konsekuensinya, hasil dari pertandingan melawan tim-tim lebih kuat masih mengecewakan kita. 

Sebagai pemanasan menuju Piala Asia, misalnya, Timnas dibantai Libya dengan skor telak, masing-masing 4-0 dan 2-1. Indonesia versus Iran yang digelar tertutup pun menghasilkan skor yang menakutkan 0-5. Publik sepak bola nasional pun ketar-ketir: jangan-jangan di turnamen sebenarnya jauh lebih nahas. 

Rasa cemas itu, syukurnya, tidak terbukti. Timnas memang menuai hasil buruk pada laga pertama dengan kekalahan 1-3 dari Irak. Terjadi perbaikan di pertandingan kedua berkat kemenangan tipis 1-0 atas lawan tradisional Indonesia, Vietnam. Tren positif itu tidak berlanjut kala skor 1-3 kembali dituai dari Jepang. 

Secara total, Jordi Amat dan kawan-kawan mencetak tiga gol dan kebobolan enam kali. Tiga poin dan selisih tiga gol ini mungkin terlihat buruk, tetapi masih bisa menghantarkan Merah Putih ke babak perdelapan final. 

Jika kita kesampingkan statistik, apakah ada yang menjanjikan dari Timnas di turnamen tersebut? 

Saya menoleh lagi kala Timnas berhadapan dengan Argentina pada tahun lalu. Ketika itu, menurut saya, tampak bahwa anak asuhan Shin Tae-yong lebih percaya diri memainkan bola, entah ketika mem-build up serangan atau melakukan man-to-man marking. Tidak tampak kekalutan sebagaimana kerap diperagakan para pendahulu mereka kala melawan tim-tim kuat. Bahwa Argentina bermain lebih baik, unggul dalam penguasaan bola, dan memasukkan dua gol, itu menandakan kualitas sang juara dunia. 

Setelah pemain-pemain diaspora semakin bejibun pascanaturalisasi, saya melihat model permainan tersebut semakin pakem. Walau tumbang 1-5 dari Irak dalam laga kualifikasi Piala Dunia, pakem tersebut masih dipertahankan. Kekalahan itu sendiri lebih disebabkan oleh kesalahan-kesalahan teknis para pemain belakang.

Saya tidak menyaksikan tiga laga pemanasan kontra Libya dan Iran. Akan tetapi, logikanya, pelatih sedang meracik skuad terbaik untuk dipakai di turnamen. Hasilnya di Piala Asia adalah satu kemenangan, tiga kali membobol gawang lawan, dan enam kali dibobol.

Menurut saya, tiga laga Grup D dan pertandingan melawan Argentina punya benang merah. Bahwa Shin Tae-yong menghendaki anak asuhnya terampil memegang bola dan mengalirkannya dengan presisi. Ini mungkin konsep yang dikehendaki semua pelatih, tetapi tidak bisa mulus diaplikasikan. Faktor kekuatan lawan, apakah di atas, jauh di atas, atau di bawah, akan sangat menentukan. Terlihat bahwa pemain-pemain Jepang dan Irak tampil lebih baik. 

Saya juga melihat para pemain keturunan memberikan warna baru. Ketenangan mereka lebih yahud. Mungkin ini bawaan kompetisi Eropa, tempat mereka ditempa sedari muda. Stamina pun jauh di atas para pemain di liga lokal sehingga strategi bisa berjalan sampai peluit akhir pertandingan berbunyi.

Dengan dua kekalahan dari Irak dan Jepang, pasti akan muncul lagi kritik terhadap para pemain diaspora. Wajar ada tuntutan agar mereka berkontribusi lebih. Akan tetapi, kita juga harus melihat bahwa kali ini lawan yang dihadapi adalah tim-tim kuat Asia. Sekali lagi, selama dua dekade ini kita bak terkurung dalam ‘tempurung’ Asia Tenggara. Adalah berlebihan jika menuntut hasil lebih dalam tempo singkat. 

Saya hanya berharap agar para pemain lebih sering bersama. Ini tak mudah pula mengingat Sandy Walsh, Justin Hubner, Elkan Baggott, Ivar Jenner adalah pemain profesional di klub-klub Eropa. Apakah semudah itu memanggil mereka di luar turnamen resmi FIFA? Bahkan untuk pemain di Liga Indonesia saja tidak mudah untuk langsung bergabung jika dipanggil pelatih.

Saya berharap hasil Grup D memompa kepercayaan diri para pemain di pertandingan-pertandingan krusial berikutnya. Entah itu di Piala Asia, karena masih ada peluang untuk lolos ke babak 16 besar, atau nanti di lanjutan kualifikasi Piala Dunia. Siapa tahu Dewi Fortuna berpihak kepada Asnawi dan kawan-kawan, bukan?


Sumber gambar di sini

Komentar

Terpopuler

Perempat Final Sensasional di Piala Asia U-23

Hasil Ultra Petita dari Shin Tae-yong

Sejarah Adalah Sejarah