Sejarah Adalah Sejarah



Apakah laga 16 besar Piala Asia 2023 antara Australia dan Indonesia layaknya pertandingan dua negara yang berselisih 120 peringkat FIFA? Apakah kemenangan 4-0 the Socceroos atas Garuda mencerminkan jalannya laga? 

Jika kita menonton dengan cermat gim tersebut dari awal sampai akhir, jawaban dari dua pertanyaan tersebut adalah “tidak”. Timnas Indonesia sudah naik kelas dari sekadar apa yang ditunjukkan oleh papan pemeringkatan FIFA.

Jordi Amat dkk tampak betul-betul menerapkan taktik pelatih Shin Tae-yong (STY). Pakem permainan tersebut sepola dengan laga melawan juara dunia Argentina pada pertengahan tahun lalu.

Para pemain diinstruksikan untuk menguasai bola. Dan, Marselino Ferdinan cs tidak peduli apakah bola itu berada di wilayah pertahanan sendiri, di tengah lapangan, atau di dekat kotak penalti lawan. Mereka mengawalinya dengan merebut bola dari penguasaan pemain lawan. Jika si kulit bundar sudah dikontrol, mereka akan menggiringnya sebaik mungkin atau mengumpan dengan kawan terdekat. 

Ketika skema ‘dari kaki ke kaki’ tidak berjalan maksimal, sesekali pemain bereksperimen dengan umpan lambung jarak jauh. Metode ini mungkin paling sering diolok-olok oleh para suporter Timnas, dulu ketika sepak bola Indonesia belum dikelola dengan profesional. Kini, para fans pasti memaklumi bahwa umpan panjang adalah variasi strategi ketika tengah mengalami kebuntuan. 

Sebagus apa pun STY menginstruksikan anak buahnya, tetapi ada satu yang kita tidak bisa bohong. Unsur terpenting untuk mencapai kemenangan adalah gol. Karena itulah lawan juga pasti menyiapkan pertahanan terbaik untuk mencegah kebobolan.

Inilah fase terlemah skuad Garuda. Membangun serangan sudah oke, tetapi menceploskan bola ke gawang adalah cerita berbeda. Oleh para suporter  maupun pengamat, para pemain depan sering dikritik tumpul. 

Saya tidak setuju dengan celaan tersebut. Paradigma STY adalah siapa pun, di posisi apa pun dia, seharusnya bisa mencetak gol. Rafael Struick yang terus dimainkan sepanjang empat laga menjadi indikatornya. Rafael dianggap lebih rajin untuk turun ke belakang dan membuka peluang bagi teman-temannya. 

Persoalannya, menurut saya, adalah bagaimana mencari pembobol. Apa pun posisinya tidak masalah. Yang terpenting adalah berjalannya skema penguasaan bola yang bermuara pada satu pemain dengan kesempatan terbesar untuk menggoyang jala gawang lawan. Penyerang mungkin adalah posisi yang paling diidamkan untuk mencetak gol, tetapi dalam skema STY yang terutama adalah probabilitas.

Menghadapi tim-tim besar Asia, yakni Irak, Jepang, dan terakhir Australia, probabilitas itu sangat kecil. Ingat, tiga tim tersebut bukan hanya berperingkat tinggi, tetapi adalah juara Piala Asia dua dekade terakhir. Mentalitas juara tertanam dalam diri para pemain yang terwarisi dari generasi terdahulu. 

Untuk mengimbangi semua itu, Indonesia butuh waktu. Yang belum dimiliki oleh Asnawi Mangkualam dkk adalah intuisi untuk mencetak gol. Dari mana intuisi diasah? Tentu saja pengalaman. Soal kemampuan individu, mereka sudah teruji, terutama ketika menghadapi tim selevel. 

Sebagai penggemar, kita pantas untuk punya asa tinggi ketika deretan pemain diaspora dinaturalisasi. Mereka adalah para pesepak bola liga-liga Eropa, dididik dengan iklim berbeda dari kultur kompetisi domestik. Lagi pula, STY sendiri yang secara khusus meminta mereka diganjar kewarganegaraan Indonesia, menandakan kepingan puzzle yang hilang dari para pemain lokal.

Meski demikian, kita pun harus bertanya dulu: apakah mungkin sebuah tim bisa langsung terbang tinggi jika mereka baru bermain bareng dalam jumlah hitungan jari? Kita boleh dahaga akan gelar dan prestasi. Kita pun berhak membebankan PSSI untuk segera memuaskan kita. Namun, jangan lupa bahwa tidak ada yang instan dalam sepak bola.

Maka, melajunya Timnas Indonesia ke perdelapan final adalah pencapaian sangat luar biasa. Belum pernah Garuda melaju ke babak gugur Piala Asia di empat kepesertaannya terdahulu. Status Indonesia sebagai kesebelasan terlemah kedua di turnamen, atau nomor 23, terpatahkan dengan nangkring di 16 besar. 

Memang, lolosnya Timnas Indonesia dari Grup D pun masih dipandang rendah segelintir orang karena berstatus peringkat tiga terbaik. Itu pun terbantu dengan hasil imbang Kirgistan dengan Oman di Grup F. 

Akan tetapi, saya sependapat dengan keterangan pers STY setelah berakhirnya laga Kirgistan versus Oman. Bahwa keberuntungan Indonesia adalah berkat uluran tangan Tuhan. Keberhasilan itu, kata dia, tidak serta-merta turun dari langit, tetapi ditopang oleh kerja keras anak asuhannya. 

Ernando Ari dkk sudah bekerja keras untuk menerjemahkan instruksi pelatih. Yang belum adalah ketajaman insting mereka di depan gawang lawan. Untuk itu, kebersamaan dalam jangka panjang adalah kunci. 

Gagalnya Timnas melaju ke perempat final mungkin mengecewakan kita. Akan tetapi, hasil ini sudah bernilai sejarah. Kita harus percaya bahwa Piala Asia 2023 adalah fondasi untuk mencetak sejarah berikutnya. 


Sumber gambar di sini


Komentar

Terpopuler

Perempat Final Sensasional di Piala Asia U-23

Hasil Ultra Petita dari Shin Tae-yong