Perempat Final Sensasional di Piala Asia U-23



Satu hal yang paling dirisaukan Tony Vidmar sebelum pertengahan pekan lalu menghadapi Timnas Indonesia U-23 adalah komposisi skuad lawan. Pelatih Australia U-23 tersebut mengetahui bahwa tim rival anak asuhannya didominasi oleh para pemain level senior.

Tiga bulan lalu, kedua negara juga berhadapan di Piala Asia 2023 level senior. Seperti sudah saya bahas di artikel sebelumnya, kemenangan telak 4-0 Australia atas Indonesia tidak menggambarkan perbedaan mencolok permainan kedua tim di atas lapangan.

Kecemasan Vidmar tersebut menjadi kenyataan. Pada pertandingan kedua Grup A Piala Asia U-23, Australia ditekuk Indonesia dengan skor minimalis, 1-0. Komang Teguh menjadi pahlawan kemenangan.

Setelah pertandingan, keluarlah statistik. Tampak begitu dominan keunggulan Australia dibandingkan Indonesia. Penguasaan bola lebih dari 60% dan tendangan ke arah gawang plus tepat sasarannya Australia sangat jomplang dengan sang pemenang.

Tidak perlu gengsi untuk mengakui keunggulan statistik Australia. Malah saya berpendapat Garuda Muda menang karena keberuntungan. Gagalnya penalti Mohamed Toure adalah isyarat tak terbantahkan akan keberpihakan Dewi Fortuna. Belum lagi serangan bertubi-tubi yang berhasil digagalkan oleh kiper Ernando Ari. 

Meski demikian, tidak bisa serta merta anak asuhan Shin Tae-yong jauh lebih lemah. Adalah sebuah kelaziman bahwa tim yang duluan unggul lebih cenderung untuk mempertahankan status quo ketimbang mengambil inisiatif ofensif tapi berisiko. Gol Komang Teguh terjadi di akhir babak pertama. Menurut saya, bukan instruksi STY melainkan naluri Witan Sulaeman dkk yang padam dengan keunggulan satu gol. Akibatnya, mereka tidak bernafsu untuk menguasai bola dan mencetak gol lagi kendati peluang itu terbuka beberapa kali.

Insting status quo juga terekam dalam permainan Timnas Qatar U-23 ketika mengalahkan Indonesia 2-0 di laga perdana Grup A. Malah, pasukan tuan rumah mendramatisir sentuhan fisik minor demi mengulur-ulur laga. Padahal, Indonesia hanya bermain dengan 10 orang menyusul kartu merahnya Ivar Jenner pada awal babak kedua. 

Lantas, seperti apa permainan Garuda Muda sebenarnya? Sepengamatan saya, ketika posisi sama masih kuat, Marselino Ferdinan dkk main dengan gaya khasnya selama ini: kuasai bola selama mungkin. Operan dilakukan “dari kaki ke kaki” meskipun tengah ditekan atau sedang di wilayah pertahanan lawan. 

Keberanian untuk lebih lama “memegang” bola ini mustahil kalau tanpa dilandasi kepercayaan diri tinggi. Faktor pengalaman berbicara di sini. Bakat atau kemampuan teknis saja tidak cukup untuk melahirkan keberanian tersebut.

Tidak lain tidak bukan jam terbang itu adalah laga-laga Timnas Senior. Mereka terbiasa melawan negara-negara tangguh. Argentina, Jepang, Australia, Iran, adalah penghuni 30 besar pemeringkatan FIFA. Di bawah mereka ada Irak, Thailand, dan Vietnam. 

Mental betul-betul ditempa ketika bersua tim-tim kuat tersebut. Pemain yang masih berusia 20-22 tahun tentu berpikir, “Jika melawan pemain top dan berpengalaman saja kami bisa apa lagi sama yang kurang pengalaman.”

Ditambah lagi, menurut saya, kualitas para kontestan Piala Asia U-23 tidak sementereng para senior mereka. Iran malah tidak bisa berpartisipasi di turnamen yang sekaligus ajang kualifikasi Olimpiade Paris 2024 tersebut. 

Secara sederhana, kualitas Indonesia jauh melebihi “market value”-nya di belantika sepak bola Asia. Di sisi lain, kualitas timnas U-23 negara lain jauh di bawah senior mereka. Ini membuat gap atau kesenjangan kualitas Indonesia yunior dengan negara-negara kuat seperti Qatar, Australia, dan Yordania tidak terlalu jauh. 

Selama empat setengah tahun ini, penanda paling mencolok dari laga-laga STY adalah kemampuan Indonesia mengalahkan lawan yang sedikit unggul kualitas. Bahkan, pencinta Timnas bisa mencak-mencak ketika menelan hasil imbang menghadapi tim yang secara peringkat lebih tinggi. Filipina adalah salah satu contoh. 


Yordania Korban

Korban terbaru adalah Yordania yang baru saja dikalahkan Timnas U-23 dengan skor 4-1, Minggu, 21 April 2024, malam waktu Qatar. Marselino Ferdinan menjebol dua kali gawang Yordania ditambah satu gol indah Witan Sulaeman dan tandukan Komang Teguh. 

Kita bisa saksikan sendiri atraksi ciamik anak asuhan STY. Bola mengalir dengan indahnya di  antara kaki para pemain. Seakan-akan lawan yang dihadapi ini adalah salah satu kesebelasan medioker Asia Tenggara, bukan salah satu tim terkuat Asia Barat. 

Dengan kemenangan tersebut, Indonesia maju ke babak perempat final Piala Asia U-23. Untuk tim debutan yang langsung bisa tembus fase delapan besar, hasil di Qatar adalah sensasional. Di babak perempat final, sudah menunggu Korea Selatan atau Jepang. Kepastiannya ditentukan pada hari ini. Siapa yang menjadi peringkat satu Grup B akan berhadapan dengan Indonesia sang runner up Grup A. 

Untuk level senior, Jepang dan Korsel adalah tim terbaik Asia, entah itu dari sisi peringkat FIFA, kepesertaan di Piala Dunia, dan pakem permainan. Secara psikologis, Timnas U-23 mungkin akan lebih takut dengan Jepang. Akan tetapi, mengapa tidak bisa mengalahkan Jepang ketika Australia saja bisa ditekuk? 

Di level Piala Asia senior, Indonesia dibantai empat gol tanpa balas oleh Australia, tetapi giliran di level junior justru terbalik. Di level senior pula Jepang mengalahkan Indonesia 3-1. Lantas, mengapa replikasi kemenangan tidak bisa? 

Pesan paling jelas adalah gap Indonesia yunior dengan raksasa-raksasa Asia lebih sempit. Akan tetapi, faktor keberuntungan bisa menentukan pula untuk akhir manis yang dinanti-nanti. Namun, bukan sekonyong-konyong hoki itu datang. Dewi Fortuna hanya bisa memihak setelah pemain menampilkan semangat juang dan determinasi tinggi. 


Sumber gambar  di sini

Komentar

Terpopuler

Hasil Ultra Petita dari Shin Tae-yong

Level Tinggi Garuda Muda