Jadikan Vietnam sebagai Guru



Selama dua dekade menjadi penikmat sepak bola Asia Tenggara, saya menilai Vietnam punya skenario tersendiri dalam menapaki kesuksesan.

Pada awal dekade 2000-an, Vietnam kesulitan untuk merebut juara dalam turnamen level ASEAN. Dua turnamen terpenting di regional ini adalah Piala Tiger dan SEA Games. Namun, Thailand dan Singapura bergantian menguasai keduanya. 

Dapat dikatakan bahwa Vietnam senasib dengan Indonesia. Jika semata melihat permainan di lapangan hijau, mungkin empat tim Asia Tenggara—Thailand, Singapura, Indonesia, dan Vietnam—tidak terlalu menganga beda kekuatannya. Akan tetapi, yang mampu untuk juara kalau bukan Thailand ya Singapura. Dewi Fortuna tidak memihak Vietnam dan Indonesia.

Kendati begitu, Vietnam punya alternatif menggapai prestasi. Di berbagai belahan dunia, turnamen terpenting setelah Piala Dunia adalah kejuaraan level benua. Sudah sejak lama disadari bahwa negara-negara Asia Tenggara—yang adalah subkontinen—sulit bersaing di level Asia. Tolok ukur prestasi pun diturunkan via penyelenggaraan SEA Games dan Piala Tiger/AFF.

Bukti betapa lemahnya Asia Tenggara bisa dilihat dari kepesertaan di Piala Asia. Saat AFC ingin menggilir perhelatan turnamen tersebut ke Asia Tenggara, konfederasi mengizinkan empat negara sekaligus untuk menuanrumahi Piala Asia 2007. Jadilah Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Indonesia berstatus co-host. Ini jarang terjadi ketika itu. Status tuan rumah bermakna kepesertaan gratis. Hanya dengan cara itulah empat tim Asia Tenggara bisa sama-sama menjadi kontestan. 

Thailand, dengan kekuatannya waktu itu, dianggap paling bisa bersaing di Piala Asia. Tidaklah demikian yang terjadi. Justru Vietnam satu-satunya tuan rumah yang sukses menembus perempat final. 

Ini menunjukkan bahwa Vietnam mengompensasi kegagalan-kegagalannya di Asia Tenggara ke level lebih tinggi. Berada dalam jajaran delapan tim terbaik Asia adalah prestasi membanggakan, jauh melampaui kampiun level subkontinen. 

Bintang utama Vietnam ketika itu adalah Le Cong Vinh. Pelatihnya adalah Alfred Riedl. Nah, trofi Asia Tenggara untuk Vietnam baru muncul setelah tampil apik di Asia. Pada 2008, gelar juara Piala AFF untuk kali pertama direbut oleh Vietnam.

Namun, kedigdayaan itu tidak panjang umur. Pada akhir dasawarsa 2000-an, kekuatan baru telah lahir, yakni Malaysia. Thailand melemah, tetapi Malaysia jadi momok baru buat Vietnam—dan Indonesia. Di bawah asuhan pelatih Krishnasamy Rajagopal, Harimau Malaya merebut emas SEA Games 2009 dan menjuarai Piala AFF 2010. 

Kualitas Vietnam menurun pada awal dan pertengahan dekade 2010-an. Bahkan, Indonesia—yang baru lepas dari sanksi FIFA—berhasil membenamkan Vietnam di babak semifinal Piala AFF 2016.


Kehadiran Park 

Setahun kemudian, datang seorang game changer dari Korea Selatan. Namanya Park Hang-seo. Pelatih ini betul-betul mentransformasi sepak bola Vietnam. Modelnya serupa dengan sedekade lalu: kuat dulu di Asia baru kuasai Asia Tenggara.

Baru empat bulan menjadi nakhoda, Vietnam dibawa Park menembus babak final Piala Asia U-23. Keberhasilan tersebut begitu menggelegar. Runner up di turnamen level Asia—sekalipun untuk kategori yunior—adalah barang langka buat tim-tim ASEAN.

Kesuksesan berlanjut di Asian Games 2018 yang digelar di Jakarta dan Palembang. Pencinta sepak bola Indonesia harus menelan ludah ketika melihat Vietnam merangkak sampai babak semifinal. Tim Garuda sendiri hanya sanggup dibawa pelatih Luis Milla menapaki 16 besar.

Sehabis moncer di Asia, barulah setelah itu Asia Tenggara dikuasai oleh Vietnam. Piala AFF dipulangkan lagi ke Hanoi pada 2018. Skuad muda Park juga berjaya di SEA Games 2019 dan 2021.

Vietnam sebelum Park dikenal sebagai  tim yang mengandalkan semangat juang tinggi. Fondasi tersebut, di tangannya, menjadi lebih taktikal dan pragmatis. Filosofi ini jitu juga diterapkan untuk Asia. Pada Piala Asia 2019, Vietnam masuk babak perempat final. Dalam Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia, Park memandu anak buahnya masuk putaran ketiga yang diikuti oleh 12 tim terkuat sebenua. Sekalipun hanya meraih hasil minor, jejak Vietnam di ronde terakhir untuk masuk Piala Dunia ini sudah luar biasa.

Dengan segudang prestasinya itu, kontrak Park tidak diperpanjang oleh PSSI-nya Vietnam. Dia minggat pada awal 2023 dan digantikan oleh Philippe Troussier, pelatih asal Prancis yang kenyang pengalaman di Asia.

Sepeninggal Park, sialnya, seret pula prestasi Vietnam. Troussier gagal bersinar di SEA Games 2023 setelah dikandaskan Indonesia di babak semifinal. Di Grup D Piala Asia 2023, Vietnam terbenam di dasar klasemen, tersisih dari Indonesia—tim yang dulu sering dikalahkan skuadnya Park. 

Kedua negara satu grup lagi di putaran kedua Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Bertemu untuk kali pertama pada Kamis, 21 Maret 2024, pekan lalu di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Indonesia mengalahkan Vietnam dengan skor 1-0 lewat gol Egy Maulana Vikri. 

Kesempatan untuk balas dendam terbuka ketika giliran The Golden Star Warriors menjadi tuan rumah lima hari berselang. Akan tetapi, lagi-lagi Tim Garuda menunjukkan keperkasaannya. Dalam laga Selasa malam, 26 Maret 2024, yang baru saja berlangsung, anak asuhan Shin Tae-yong mencabik-cabik Vietnam dengan tiga gol tanpa balas. Ini adalah kekalahan kandang pertama dari Indonesia setelah 20 tahun. 

Berkat kemenangan ini, posisi Indonesia tetap di peringkat kedua Grup F dengan tujuh poin. Sebaliknya, Vietnam tertahan di peringkat ketiga dengan tiga poin. Indonesia diuntungkan karena unggul empat poin plus menyisakan dua laga kandang versus Irak dan Filipina. Jika mempertahankan peringkat kedua, atau bahkan mengkudeta Irak dari puncak klasemen, Indonesia akan masuk ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Ini serupa dengan prestasi Vietnam empat tahun lalu di bawah Park. 


Tahan Lama

Adalah sebuah kebanggaan bahwa Indonesia menjadi momok buat Vietnam di tiga laga terakhir. Akan besar pula kebanggaan kita bila prestasi mentereng Vietnam di era Park akan diekori oleh Timnas Indonesia. Bahkan, saya meyakini bahwa skuad Merah Putih akan jauh lebih berprestasi.

Apa sebab? Jawabannya adalah para pemain keturunan yang dinaturalisasi. Peran mereka sangat kentara ketika membungkam Vietnam 3-0. Thom Haye yang menjalani debut berkontribusi atas dua gol yang masing-masing dicetak oleh Jay Idzes dan Ramadhan Sananta. Satu gol lagi disarangkan oleh Ragnar Oratmangoen yang juga mencatat laga perdananya. Lini pertahanan pun berdisiplin tinggi dalam penjagaan Justin Hubner. 

Para pemain tersebut punya level individu di atas skuad Vietnam era Park. Mereka bermain di Eropa, ekosistem terbaik dalam kompetisi level klub. Selain itu, mayoritas mereka masih berusia muda dan akan mencapai puncak dalam lima sampai 10 tahun mendatang. 

Tak sedikit memang kritik yang menyebut naturalisasi akan menghambat pembinaan. Meski demikian, kita juga harus berkaca dari kasus Vietnam yang era emasnya mengandalkan pemain-pemain lokal. Sepeninggal Park, mereka melempem. Bisa jadi ini karena pergantian pelatih. Akan tetapi, menurut saya, ini karena kemampuan mereka telah habis dikuras. 

Sebaliknya, pemain naturalisasi Indonesia akan memiliki daya tahan lebih lama. Namun, harapannya juga, level permainan pesepak bola lokal juga ikut terkerek. Dengan demikian, jika Indonesia memasuki masa kejayaannya, transisi akan mulus. 

Vietnam telah mencontohkan bahwa prestasi bisa dibangun lewat pemain lokal. Akan tetapi, kita tidak mau masa emas berdurasi pendek ala Vietnam. Pengalaman Thailand juga menjadi contoh. Negeri Gajah Putih hebat di Asia Tenggara, tetapi tidak mampu bersaing di level tinggi Asia.

Jadi, skema naturalisasi Indonesia harus dimaknai sebagai proyek jangka panjang. Kita harus bisa masuk Top 10 Asia. Vietnam pernah mencapainya, tetapi tidak berlangsung lama.

Tidak ada salahnya berguru kepada Vietnam atas kesuksesan mereka. Pilihan PSSI untuk merekrut STY yang asal Korea pun mempertimbangkan moncernya Park di Vietnam. Cara mereka “bersaing dulu di Asia baru mencengkeram Asia Tenggara” juga kita ikuti. Ya, STY tinggal mempersembahkan trofi level ASEAN.

Dalam filosofi pendidikan, selalu ditekankan bahwa murid harus lebih berhasil dari guru. Indonesia pun, jika memposisikan sebagai murid, harus lebih berprestasi dari Vietnam. Bedanya dengan sang guru, kita bisa mempertahankannya lebih lama. Semoga!


Sumber gambar di sini


Komentar

Terpopuler

Perempat Final Sensasional di Piala Asia U-23

Hasil Ultra Petita dari Shin Tae-yong

Sejarah Adalah Sejarah