Ego yang Menendang STY



Ketua Umum PSSI Erick Thohir sudah membantah bahwa pemecatan Shin Tae-yong (STY) karena tekanan, terlebih dari mafia sepak bola. Pemutusan kontrak pelatih Timnas Indonesia itu, kata Erick, murni keputusan dirinya.

Benarkah? Saya pun ogah berburuk sangka kepada Erick. Itu sebabnya saya menelan mentah-mentah alias percaya kata-katanya. Dan, dengan menerima itu, izinkan pula saya untuk menduga-duga alasan di balik pemecatan STY. Apa itu? Satu kata: ego!

Erick Thohir datang ke PSSI setelah malapetaka Malang pada 1 Oktober 2022. Sehabis peristiwa berdarah tersebut, Ketua Umum PSSI Mochamad Iriawan alias Iwan Bule dihujat. Tuntutan mundur menggema di berbagai pojok negeri. Saat itulah STY maju “ke depan” untuk membela orang yang telah mengontraknya. Dia mengancam akan mundur kalau Iwan Bule tidak lagi menjadi orang nomor satu PSSI.

Iwan Bule akhirnya betul-betul out. Yang menjadi pengganti adalah Erick Thohir. Tiap ada suksesi di level organisasi, sudah jadi tradisi bahwa rezim baru melakukan bersih-bersih. Alih-alih, atas alasan kontinuitas STY tidak dipecat dan tidak pula dia membuktikan omongan sendiri.

Kerja sama keduanya pun semakin ciamik dan bahkan epik. STY berhasil membawa Timnas U-23 ke semifinal Piala Asia U-23 , mengantar Timnas Senior ke babak 16 besar Piala Asia, dan yang paling fenomenal menggiring Garuda ke babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia.

Merangkaknya prestasi di atas lapangan hijau simultan dengan keberhasilan PSSI "mencetak" paspor hijau. Maksudnya, makin banyak pemain sepak bola keturunan Indonesia di Eropa yang menjadi WNI. Kita menyebutnya dengan istilah "naturalisasi". Para pemain diaspora terbukti berkontribusi besar terhadap kemajuan tim-tim asuhan STY.

Kamar Ganti

Celakanya, keberhasilan Timnas tampak seolah keberhasilan satu orang. Sosok tersebut, sialnya, bukanlah Erick Thohir. STY-lah yang dianggap pahlawan. Namanya dielu-elukan tiap kemenangan direngkuh. Padahal, di negara lain kredit terbesar atas prestasi lapangan hijau dialamatkan kepada (para) pemain.

Tambah pelik situasi karena STY tampak menikmati semua itu. Dia menjadi bintang iklan di mana-mana. Orang-orang berlomba-lomba memberinya penghargaan. Sampai-sampai STY berpikir untuk membangun akademi sepak bola sendiri.

Ngomong dengan media massa pun STY bebas tanpa batasan. Termasuk leluasa untuk mengklaim keberhasilan Timnas adalah tampak buah kerjanya seorang tanpa memberi atribut memadai untuk atasannya atau pemain.

Jika saya Erick Thohir, saya pasti geregetan dengan anak buah seperti itu. Terlebih jika sayalah yang sebenarnya membantu orang tersebut untuk menggapai kemegahan. Dan, terdapat pula obsesi saya untuk mendapatkan pujian atas sukses orang yang saya pekerjakan.

STY tampaknya tidak mengerti jika bosnya mungkin punya perasaan seperti itu. Dia lebih mengerti isi hati Iwan Bule ketika dulu didesak untuk mundur. Saya menduga ada pula tekanan untuk lebih low profile, tetapi STY tetap menjadi dirinya.

Suasana “perang dingin” belum sampai jadi perang terbuka. Namun, mesiunya sudah ditebar pelan-pelan dan siap meledak. Mesiu pertama ditabur pada pertandingan antara Timnas Indonesia dan Bahrain pada Oktober 2024. Karena berakhir seri 2-2, sejumlah pemain disebut-sebut memprotes taktik STY. Sang pelatih kemudian merespons dengan mencadangkan para koppig (keras kepala) ketika pertandingan melawan China empat hari kemudian. Garuda kalah 2-1 dan taktik STY dalam meramu susunan pemain dikambinghitamkan.

Masalah datang lagi ketika Indonesia menjamu Jepang pada pertengahan November. Orang rasional menerima kekalahan 0-4 dari Sakura, tetapi taktik STY kembali dikritik. Apalagi, di daftar klasemen Indonesia terjerumus di dasar klasemen.

Kemudian timbul berita bahwa terjadi disharmoni para pemain dengan pelatih sampai-sampai Kapten Jay Idzes mengadakan pertemuan tanpa melibatkan STY. Erick Thohir menambah drama dengan melontarkan ancaman mundur jika masalah tidak selesai.

Hasilnya, empat hari kemudian Indonesia berhasil mengalahkan Arab Saudi 2-0 di Stadion Gelora Bung Karno. Tambahan tiga poin membuat Marselino Ferdinan dkk mengemas 6 poin, nangkring di posisi tiga. Peluang merebut posisi empat besar pun terbuka di empat pertandingan tersisa, masing-masing dua laga pada Maret dan Juni 2025.

Pertanyaannya, kemenangan atas Arab Saudi itu prestasi siapa? Jika menilik komentar-komentar orang kebanyakan, lagi-lagi STY yang dapat nama. STY juga kelihatan menikmati semua itu.

Dalam perjalanan menuju Maret 2025 terdapat jadwal rutin Desember tahun genap, yakni Piala AFF tapi dengan nama berbeda: ASEAN Championship. Tidak ada target, kata Erick Thohir. Belakangan, ternyata ada bidikan ke semifinal, berkembang menjadi final, bahkan juara.

Realitanya, Indonesia gagal di babak penyisihan. Apa yang jauh-jauh hari dibilang nir-target ternyata “minimal semifinal”. Dengan kata lain, kali ini STY gagal memenuhi target.

Rumor Terbukti

Desakan mundur lagi-lagi mengemuka. Padahal, gara-gara tidak ada target STY dibiarkan bereksperimen dengan cukup memanggil pemain-pemain usia muda. Ketika belakangan ada target, capaian ASEAN Cup menjadi justifikasi untuk membidik STY.

Sepanjang pekan lalu, rumor semakin kencang. Media Italia memuat berita anonim tentang keinginan Erick untuk mengganti STY dengan pelatih Eropa. Alasannya adalah taktik. Spekulasi semakin ramai ketika salah seorang anggota Komite Eksekutif PSSI mengucapkan salam perpisahan kepada STY.

“Konferensi pers besok,” tulis beberapa media pada hari Minggu, 5 Januari 2025, untuk menjawab rumor-rumor yang semakin liar.

Benarlah adanya. Konferensi pers tepat waktu pukul 12.00 itu dihadiri oleh Erick sendiri. Palu godam untuk STY diketuk dalam kesempatan itu.

“Hubungan kita sudah berakhir,” kata Erick.

Polesan kata-kata dari Erick tidak bisa menutup makna tersurat. Bahwa terdapat masalah komunikasi antara pemain dan pelatih dalam hal taktik dan selainnya. Bahwa sumber masalah sudah bermula sejak kekalahan dari China.

Jika boleh memberi tafsiran, semua berawal dari ego. Para pemain diaspora merasa lebih paham taktik untuk membuat skill mereka berkembang. Di sisi lain, STY punya ego sebagaimana wujud sikap keras kepalanya selama ini. Sang pelatih berpotensi untuk menghukum mereka sebagaimana nasib pemain-pemain lokal dan keturunan yang nakal. Jika ego STY terlaksana, kekuatan Indonesia di atas kertas akan melemah.

Sebenarnya, masih ada kesempatan bagi STY untuk membuktikan egonya pada Maret nanti. Akan tetapi, hasil Piala AFF membuat Erick mendapatkan jawaban terang: bahwa tanpa pemain naturalisasi STY tidak bisa apa-apa. Para pemain itu adalah program sukses sang Ketua Umum PSSI.

Terdapat dua kemungkinan jika STY masih dipertahankan sampai Maret. Jika kemenangan didapat dengan mengorbankan pemain naturalisasi, nama STY akan tambah populer, lebih ngetop dari Ketua Umum PSSI. Jika yang terjadi sebaliknya (kalah), jabatan Erick yang menjadi taruhan.

Di sinilah ego memandu Erick. Dia merasa skuad senior Indonesia adalah emas sehingga siapa pun pelatihnya akan sukses. Termasuk, jika benar, diasuh oleh pelatih dengan nama tenar tapi minim prestasi seperti Patrick Kluivert.

Erick tidak merasa butuh STY. Mendepaknya dianggap bukan masalah. Baginya, pemain-pemain diaspora lebih hebat dari pelatih. Sehingga, barangkali, strategi pelatih yang harus menyesuaikan dengan gaya main mereka.

Sepak bola adalah olahraga manusia. Ego-ego personal bersemai dan bahkan saling beradu. Akan tetapi, pembuktian dalam sepak bola sangat gampang: bagaimana hasil di atas lapangan?

Pemecatan STY menandakan bahwa ego para pemain dan Ketua Umum PSSI untuk sementara menang. Kita tinggal menunggu apakah aliansi mereka bisa membawa Timnas Indonesia masuk Piala Dunia 2026.


Sumber gambar di sini

Komentar

Terpopuler

You’ll Never RACIST Alone, Suarez!

Kehebatan Barcelona: Tiki-taka, La Masia, dan Wasit!

Yang Kurang dari Penjelasan Ilmuwan tentang Lionel Messi