Messi, Messi-nya Jerman, dan Keadilan


Lionel Messi pasti paham apa itu ketidakadilan dalam sepak bola.
Bersama Barcelona, dia percaya bahwa tim terbaiklah yang seharusnya menggondol trofi juara, di turnamen apapun itu.
Saat El Barca hattrick gelar di Liga Spanyol dari 2009 hingga 2011, tidak ada yang meragukan kehebatan klub Catalan itu bersama pelatih Josep “Pep” Guardiola.
Di Liga Champion, mereka menaklukkan tim favorit Manchester United di babak final 2009 dan 2011.
Tatkala Barcelona kalah dari Inter Milan di musim 2009/2010, Messi merasakan ketidakadilan. Anak asuh Jose Mourinho memarkir, bukan bus, melainkan pesawat, yang membuat mereka tersingkir di babak semifinal. Penguasaan bola 90 persen mengadapi 10 pemain lawan kala itu, tidak mampu mengubah nasib.
Peristiwa yang sama terulang di musim 2011/2012. Kali ini reinkarnasi Inter adalah Chelsea. Juga memakai kostum biru. Proses tersingkirnya sama: kalah di kandang lawan, gagal unggul agregat di leg kedua. Dan sama-sama menghadapi 10 pemain ketika John Terry dikartu merah wasit.
Pendukung Barcelona menganggap tim mereka dizhalimi, bukan oleh wasit karena terbukti keputusan sang pengadil justru memberi kesempatan bagi mereka. Tapi itulah sepak bola.
Mereka baru mendapatkan keadilan, meski pahit, ketika menghadapi Bayern Muenchen di semifinal Liga Champion 2012/2013. Tim Bavaria menunjukkan keganasannya, menggasak Barcelona secara agregat 7-0.
Banyak fans meratap. Tim tebaik dunia, berisi pemain juara Euro 2012, takluk oleh runner-up Bundesliga. Namun, pada akhirnya mereka tersadar, bahwa Bayern memberi sesuatu yang lain yang tak dimiliki Barcelona.
Gaya tiki-taka yang “rakus” penguasaan bola, takluk oleh permainan efisien ala Jerman. Messi, yang sadar dengan kekalahan itu bakal sulit mendapatkan Balon d’Or kelimanya (setelah 2009, 2010, 2011,2012), menerima fakta bahwa “di atas langit masih ada langit”.
Muenchen tak lain adalah personifikasi Jerman. Muenchen adalah Jerman dan Jerman adalah Muenchen.
Apa yang dirasakan Barcelona dan Messi dengan Inter dan Chelsea, barangkali itu pula yang dirasakan Jerman sebagai tim nasional.
Pada Piala Dunia 2006 mereka takluk di semifinal oleh Italia yang akhirnya keluar sebagai juara. Dua tahun berselang Spanyol menghalangi mereka merebut trofi Euro keempat di partai final.
Dua tahun kemudian, Tim Matador lagi-lagi menyingkirkan mereka di babak semifinal Piala Dunia Afrika Selatan. Dan, Italia kembali meremukkan Jerman di empat besar Euro 2012.
Jerman kalah oleh tim terbaik yang akhirnya juara. Tidak semua kekalahan itu pantas diterima. Jerman merasa dapat mengimbangi keduanya, namun sepak bola harus punya pemenang.
Namun, keadilan itu datang dengan cara yang lain. Spanyol dan Italia, dua negara yang selalu mengandaskan Jerman, adalah tim yang kedodoran ketika menghadapi Brasil. Terakhir, Italia dan Spanyol merasakannya di Piala Konfederasi 2013.
Ketika Tim Samba dilumat 7-1 di kandangnya sendiri pada semifinal lalu, secara tidak langsung mereka telah menuntaskan dendamnya kepada Matador dan Azzurri. Sang tuan rumah Piala Dunia 2014 pula yang memukul harapan Jerman di Korea-Jepang pada 2002.
Secara psikologi, Jerman sudah juara. Apalagi, tim yang mereka hadapi  di final “hanyalah” Argentina, yang mereka singkirkan di dua piala dunia sebelumnya.
Dalam dua kesempatan itu ada Lionel Messi, “pemain yang berasal dari planet lain”.
Legenda Argentina Diego Maradona pernah berkata: “Anda boleh memenangi apapun. Tapi piala dunia adalah sesuatu yang berbeda.”
Sebuah sindiran telak bagi Messi yang sudah mengantongi gelar-gelar terbaik level klub dan individu, tapi nirprestasi bersama timnas senior. Maradona bukan besar karena Liga Champion dan jumlah golnya pun kalah jauh dari Messi. Tapi dia punya trofi piala dunia.
Sejatinya, melajunya Abiceleste ke puncak Piala Dunia Brasil adalah buah keberuntungan. Mereka melangkah ke final bukan mengalahkan tim juara, praktis hanya Belanda tim kuat (yang ironisnya belum pernah juara) yang ditaklukkan, itupun dengan adu penalti.
Perkataan Louis van Gaal, pelatih Tim Oranye, bahwa “adalah lebih baik kalah 1-7 dibandingkan adu penalti” juga merupakan sebuah sindiran: bahwa Argentina sejatinya tidak pantas menghadapi Jerman. Messi pasti menyadarinya.
Argentina bukanlah Barcelona.Tapi Jerman adalah Muenchen.
Jika Muenchen saja bisa mengkanvaskan tim terbaik, apalagi personifikasi klub itu di level timnas.
Punggawa FC Hollywood seperti Manuel Neuer, Jerome Boateng, Phillip Lahm, Bastian Schweinsteiger, Toni Kroos, Thomas Mueller bersama Mesut Oezil dan Andre Schurrle—“pengganti” Arjen Robben dan Franck Ribbery di Muenchen—menghadapi Messi.
Tapi Si Kutu tidak punya Iniesta, Xavi, Buesquet, Pedro yang bersamanya pernah dibantai 7 gol tanpa balas. Tanpa bermaksud mengerdilkan pemain yang lain, meminjam perkataan Maradona, Messi seperti bermain sendirian.
Untung sepak bola bukan matematika. Jerman tidak membobol gawang Argentina dengan jumlah berjibun. Lagipula, final dini hari tadi tidak menampilkan permainan yang atraktif. Wajar, Argentina gagap setelah tidak pernah ke final dalam 24 tahun. Pun Jerman, yang sedikit banyak terganggu dengan kekalahan di  dua babak final sebelumnya.

Tapi si pembuat beda itu tetap Messi, bukan Messi asli melainkan Messi-nya Jerman: Mario Goetze!
Begitu julukan legenda Franz Beckenbauer untuk Goetze. Ketika media ramai-ramai memberi porsi untuk Messi asli, Mueller atau Klose, sang anak ajaib Jerman itu datang membawa kemenangan.
Ketika Mario Goetze menceploskan bola ke gawang Sergio Romero, dini hari tadi, maka Jerman mendapatkan keadilannya. Di Maracana, Brasil, tanah benua Amerika yang belum pernah ditaklukkan negara Eropa.
Satu gol cukup untuk menambah satu bintang di kostum Tim Panser menjadi empat.
Tidak ada yang tahu seperti apa masa depan Goetze bersama Muenchen. Apakah akan menjadi pemain bintang, apakah akan mendapat trofi Liga Champion yang gagal dia peroleh bersama Borrusia Dortmund. Apakah akan merebut Balon d’Or satu, dua, tiga, empat kali. Tidak ada yang tahu.
Tapi, tanpa semua itu, Goetze sudah bergabung bersama Pele, Beckenbauer, Maradona, Zinedine Zidane, Ronaldo, Andrea Pirlo, dan legenda lainnya. (Mungkin) tidak memenangi semuanya tapi punya piala dunia!
Sementara sang Messi asli, masih harus menunggu empat tahun, atau bahkan…tidak pernah sama sekali.

Sumber foto di sini

Komentar

Terpopuler

Perempat Final Sensasional di Piala Asia U-23

Hasil Ultra Petita dari Shin Tae-yong

Level Tinggi Garuda Muda