Piala Dunia 2014: Brasil Makmur, Selecao Hancur
Brasil membangun kedigdayaan sepak bolanya dari kekalahan.
Pada 1950, Brasil yang menjadi tuan rumah Piala Dunia takluk 1-2 dari Uruguay
dalam laga penentuan gelar juara.
Semenjak itu, Brasil berbenah. Delapan tahun kemudian, gelar
itu ditebus seorang Edson Arantes do Nascimento atau Pele. Pemuda 18 tahun ini
menjadi bintang terang di Piala Dunia 1958 Swedia. Perjalanan sejarah Tim Samba
kemudian ditentukan oleh kehadirannya.
Pada 2008, Brasil terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia
2014. Tentu masa pahit 1950 itu tidak ingin diulang. Presiden Luiz Inacio Lula
da Silva berhasil membawa kemajuan ekonomi. Brasil punya materi untuk menghelat
pesta olahraga yang berbiaya tinggi. Tidak hanya coupe du monde, pada 2009 Kota Rio de Janerio juga ditunjuk menjadi
tuan rumah Olimpiade 2016.
Mungkin Lula ingin proyek mercusuar. Dia ingin ada proyek
monumental yang dia wariskan. Ya, diwariskan. Karena yang menikmati dua even akbar
itu adalah presiden Brasil saat ini Dilma Rousseff—jika kembali tepilih pada
periode kedua tahun ini.
Lula memang pencinta sepak bola. Saya pernah dengar dia fans
Corinthians. Tapi, bagi seorang politisi, sepak bola hanyalah hobi. Kehebatan sepak
bola Brasil sudah “sesuatu dari sononya”, bukan karena dia. Oleh karena itu,
bagi politisi Partai Buruh Brasil itu, piala dunia lebih bernilai politis
ketimbang sepak bola.
Sama juga dengan Amerika Serikat, Korea, Jepang, Afrika
Selatan yang menjadikan Piala Dunia sebagai simbol kesuksesan ekonomi, bukan
batu pijakan untuk menciptakan tim elit dunia.
Pada akhirnya, terbukti bahwa Brasil terkutuk di tanahnya
sendiri.
Kutukan itu sudah disadari jauh-jauh hari oleh sebagian penduduk
Brasil yang berdemo menentang pelaksanaan piala dunia. Bagi mereka, ajang empat
tahunan itu adalah pemborosan. Uang pembangunan dirasa lebih penting buat
pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Para demonstran pasti juga pencinta sepak bola dan timnas. Namun, mereka percaya bahwa Brasil tidak perlu menjadi tuan rumah
untuk menjadi juara. Selecao pernah kampiun di Eropa, Asia, dan Amerika. Justru
memori 1950 membuktika yang sebaliknya.
Dilma tentu tidak bisa berbuat banyak. Piala Dunia adalah
warisan pendahulunya. Lagipula, langkah menghentikan turnamen hanya membuat aib
negerinya.
Piala Dunia akhirnya digelar lancar. Di babak awal, Uruguay
masih menjadi hantu peristiwa 64 tahun lalu. Namun orang Brasil bernapas lega
karena Uruguay punya pemain “terkutuk”, Luiz Suarez, yang dilarang tampil usai
menggigit Giorgio Cellini di babak penyisihan. Tanpa diperkuat pencetak gol
terbanyak Liga Inggris itu, Uruguay langsung tersisih di babak perdelapanfinal.
Anak asuh Luiz Felipe Scolari menapaki tangga juara dengan tersendat.
Mereka tidak menghadapi tim kuat di babak penyisihan, perdelapan final,
perempat final, hingga akhirnya Jerman sudah menunggu di babak empat besar.
Inilah lawan sejati Tim Samba. Bukan karena seringnya kedua
negara itu bersua, tapi karena tradisi mereka sepanjang sejarah piala dunia. Brasil
dan Jerman seolah tidak ditakdirkan bertemu, kecuali ketika final Piala Dunia
2002.
Babak semifinal yang berlangsung 8 Juli waktu Brasil, atau 9
Juli dini hari waktu Indonesia, membuktikan kutukan itu masih ada. Tidak ada
yang menyangka, bahkan penyuka bola dadakan pun tak akan percaya bahwa Selecao dibantai 7-1 di kandang mereka sendiri.
Tim terbaik sepanjang masa, tuan rumah pula, takluk dengan
skor yang mungkin sering terjadi pada masa sepak bola tahun 1930-an.
Dunia terkejut. Orang Brasil menangis.
Ketika pada menit ke-29 Tim Panser sudah unggul 5-0, mukjizat
sulit terjadi. Yang diharapkan orang Brasil hanyalah agar selisih gol itu bisa
tereduksi, sehingga beban malu itu sedikit berkurang di sepanjang hidup mereka.
Jika ketidakhadiran Neymar dan Thiago Silva dijadikan alasan
kekalahan telak itu, maka sama saja meragukan Brasil yang dikaruniai bakat
hebat.
Kekalahan Brasil bukanlah pembuktian bahwa Jerman adalah tim
hebat. Tapi justru menunjukkan bahwa Brasil tidak percaya diri sebagai tim
terbaik.
Para pemain yang dipanggil Scolari memang tidak pernah
merasakan juara dunia. Tidak ada Kaka dan Ronaldinho, dua bintang yang sebetulnya
masih mampu bermain bola, sekaligus menjadi bagian skuad Big Phil ketika sukses
merengkuh trofi Piala Dunia 2002.
Scolari terlampau percaya diri dengan skuadnya yang menjadi
juara Piala Konfederasi 2013.
Tapi Piala Dunia adalah sesuatu yang berbeda. Ketika Spanyol
takluk 0-3 oleh Brasil di final, Iker Casillas mengatakan: “Kami masih punya
harapan karena belum pernah kampiun Konfederasi yang juara dunia setahun
kemudian.”
Casillas benar soal statistik. Brasil, juara Konfederasi 1997,
2005 dan 2009 gagal di Piala Dunia 1998, 2006 dan 2010. Prancis pada 2001 juga
tersingkir di Korea dan Jepang.
Namun, kapten Real Madrid itu salah dalam hal harapan. Sang
juara bertahan juga pulang lebih dini, bahkan takluk 5-1 oleh Belanda di
penyisihan.
Harapan!
Kata-kata ini kerap didengungkan termasuk juga ketika pada
hari ini, 9 Juli 2014, orang Indonesia memilih pemimpin baru.
Bagi orang Brasil, harapan itu telah sirna. Hutan Amazon
digilas oleh Panser Jerman. Kepedihan psikologis akan tertanam lama sekali.
Syukur jika dalam empat dan delapan tahun dapat tertebus. Tapi siapa yang tahu?
Namun, ketika Brasil gagal dalam sepak bola, mereka punya
alternatif. Lula dan Dilma sedang membawa negara itu tinggal landas menjadi
negara ekonomi besar. Keberhasilan keduanya dapat dilihat dari kemegahan
Maracana dan stadion besar di seantero Brasil. Juga venue-venue olahraga
canggih di Kota Rio, tuan rumah olimpiade dua tahun lagi.
Mungkin Lula sudah berpikir, sepak bola bukan lagi menjadi
hiburan tertinggi bagi rakyatnya. Sementara Piala Dunia hanya empat tahun
sekali, orang butuh makanan dan kebutuhan hidup sehari hari. Dengan kata lain:
kemakmuran.
Brasil lewat piala dunia memperlihatkan mereka makmur dan
kaya. Tapi apakah orang Brasil dan para pemain Brasil akan mengatakan serupa?
Satu hal yang pasti, berpuluh-puluh tahun mendatang Presiden
Brasil maupun Ketua Federasi Sepak Bola Brasil tidak akan mau mengajukan diri
menjadi tuan rumah Piala Dunia dengan alasan apapun.
Sumber gambar di sini
Komentar
Posting Komentar