Etihad Stadium: The New “Theatre of Dream” of Manchester



Bagaimana dramatisnya Manchester City meraih juara Liga Primer Inggris semalam makin membuktikan bahwa kompetisi terbaik di dunia memang berada di Tanah Inggris. Semua kita yang menyaksikan di televisi merasakan ketegangan hingga detik-detik terakhir layaknya sebuah pertandinan final Piala Dunia atau Liga Champion.

Kita patut ucapkan terima kasih kepada orang Inggris. Pertama karena merekalah yang “menemukan” sepak bola. Kedua tentu saja karena mereka pula yang membuat kompetisi sepak bola ditata secara profesional, menarik, dan menegangkan. Sejak Liga Primer Inggris bergulir pada 1991, seluruh dunia pun mengadopsi tata kelola liga profesional dari sana.

Sepanjang dekade 1990-an, Liga Inggris mungkin kalah tenar dibanding Liga Italia. Tapi kemudian Serie A mengalami penurunan kualitas terutama sekali akibat skandal calciopoli pada 2006 yang memalukan itu. Sejak itulah Liga Primer mejadi liga nomor satu karena ketatnya persaingan untuk merebut gelar, jatah Eropa, atau lolos dari jurang degradasi.

Pada mulanya Liga Primer Inggrir hanyalah berisi persaingan MU dan Arsenal dengan sesekali usikan dari Liverpool. Tahun 2003 Chelsea diambil alih oleh Roman Abramovich yang kemudian mendatangkan bintang-bintang dunia serta pelatih kelas wahid ke Stamford Bridge. The Blues pun menyemarakkan persaingan tiga klub tadi sehingga memunculkan istilah The Big Four, sebagai penghuni empat besar liga yang secara otomatis bermain di Liga Champion Eropa.

Hegemoni keempat klub itu kemudian dirusak pada musim 2009/2010 karena Tottenham Hotspurs menyodok ke posisi empat klasemen akhir. Liverpool pun terpental. Musim itu juga mencatat lahirnya sebuah klub penantang baru bernama Manchester City yang dibeli oleh konglomerat dari Abu Dhabi. Terseok-seok di awal musim, tapi City segera bangkit di bawah pelatih Italia bernama Roberto Mancini. Mantan alenatore Inter ini menghantarkan tetangga MU itu berada satu strip di bawah The Liliwithes.

Dengan kekuatan finansialnya, semua orang meramal The Citizens bakal menjuarai Liga Primer. Kenyataan itu meleset karena ternyata Mancio hanya mampu membawa Yaya Toure dkk. ke peringkat tiga klasemen akhir musim 2010/2011. Tapi itu sudah langkah awal yang baik karena mereka pun meraih gelar Piala FA yang sudah lama ditunggu-tunggu. Semua orang lantas  menanti-nanti apa gerangan gelar yang bakal diraih penghuni Etihad Stadium itu di musim berikutnya.

Pada akhirnya semua terjawab sudah kemarin, Minggu 13 Mei 2012. Perjuangan meraih gelar setelah 44 tahun itu penuh lika-liku yang tak jarang memunculkan cemoohan sana-sini. Terutama sekali sindiran itu datang yang dari “tetangga sebelah”, yang merajai Inggris selama dua dekade: Manchester United. Sang tetangga tidak mau statusnya sebagai pemilik Manchester terancam oleh sebuah klub kaya baru. United merasa kekuatannya dibangun di atas pondasi kokoh, sedangkan City dibangun dalam “semalam suntuk”. Wajar saja, ketidakrelaan muncul di benak pelatih, pemain, maupun Manchunian.

Tapi, sejarah telah berkata, “This’s City Time”. Dari tertinggal delapan poin, City berhasil menyalip tetangganya dengan unggul selisih gol saja. Selisih inilah yang kemudian menasbihkan City sebagai juara. Dan, sekali lagi, untuk itu pun harus lewat drama yang menegangkan di “Theatre of Dream” Kota Manchester yang baru, Etihad Stadium.

Etihad pada Minggu kemarin benar-benar panggung mimpi. Sedangkan Old Trafford—yang selama ini dijuluki Theatre of Dream—adalah panggung di mana mimpi sudah terwujud dan bahkan menjadi mitos. Di Etihad, gelar juara yang dinanti-nanti itu nyaris hanya impian tatkala Cisse dan Mackie mencetak dua gol sehingga sampai waktu normal tuan rumah tertinggal 1-2. Tapi kemudian, sundulan anak Bosnia dan Argentina bernama Edin Dzeko dan Sergio Aguero dalam tempo 121 menit  (menurut hitungan saya) di waktu tambahan, membuat mimpi itu mewujud menjadi nyata.

Dengan seorang pelatih hebat dan pemain-pemain bintang yang segera datang, Etihad masih akan menjadi Theatre of Dream sebelum City meraih semua gelar terbaik sebagaimana yang sudah lebih dahulu didapat tetangga mereka. Mampukah City menggapainya? Atau jangan-jangan klub ini tidak lebih sebagai klub yang muncul tenggelam yang mengganggu dominasi MU sebagaimana Blackburn, Arsenal, dan Chelsea?

Biarlah sang waktu yang menjawabnya…


Sumber gambar di sini 

Komentar

Terpopuler

You’ll Never RACIST Alone, Suarez!

Kehebatan Barcelona: Tiki-taka, La Masia, dan Wasit!

Yang Kurang dari Penjelasan Ilmuwan tentang Lionel Messi