“Robbery” Kembali Tak Utuh, Muenchen pun Gagal



Arjen Robben
dan Franck Ribery adalah dua pemain asing di antara taburan bintang Jerman di FC Bayern Muenchen. Pada 2009 keduanya disatukan Tanah Bavaria dari latar belakang berbeda. Robben mendapat “degradasi” karena dibuang dari tim terbaik sepanjang masa, Real Madrid. Ribery sebaliknya, “promosi” dari Olympique Marseille yang prestasinya tidak semenonjol Die Rotten di dataran Eropa.   


Rasa sakit dan rasa gembira itu dikawinkan menjadi kekuatan yang dahsyat. Kurang dari setahun saja, duet Belanda-Prancis itu membawa Bayern Muenchen menjadi klub terhebat di Jerman dan ditakuti seantero Eropa. Sebelum 23 Mei 2010, Muenchen sudah meraih dua gelar bergengsi: juara Bundesliga dan DFB Pokal. Masih belum cukup, “Robbery” membawa FC Hollywood ke final Liga Champion menantang FC Internazionale Milano. 

Tapi, harga menebus tiket final itu teramat mahal. Franck Ribery mendapat akumulasi kartu kuning pada leg kedua semifinal menghadapi Lyon. Harapan bermain di final pun kandas. Di saat yang sama, interisti seluruh dunia gembira-ria karena Inter Milan tak perlu kerepotan berhadapan dengan sayap maut lawannya. 

Begitulah adanya ketika final berlangsung pada 23 Mei 2010 itu. Santiago Bernabeu menjadi saksi betapa frustasinya pemain Muenchen yang tak mampu menembus gawang Julio Cesar. Menyerang terus-menerus tidak membawa hasil. Arjen Robben gagal menunjukkan kehebatannya karena tandemnya hanya duduk di bangku penonton. Dan, dua gol Diego Milito sudah cukup untuk menghantarkan Nerazzurri meraih gelar ketiganya. 

***
Sayang seribu sayang, begitulah dulu nasib Bayern Muenchen. Tapi duet “Robbery” tetap dipertahankan ketika Jupp Heynckes menggantikan Louis van Gaal. Musim 2010/2011 tidak terlalu manis bagi Muenchen. Namun, secercah harapan muncul kembali di musim 2011/2012 ini ketika Die Rotten melaju hingga ke final DFB Pokal dan Liga Champion. Ketika Muenchen dikalahkan oleh Dortmund 5-2 di final DFB minggu lalu, maka mau tak mau Liga Champion adalah satu-satunya harapan. Sekaligus sebagai penebus kegagalan dua tahun lalu. 

Kali ini, “Robbery” utuh, tidak kekurangan satu apapun. Final yang dihelat di kandang sendiri menjadi pemacu tambahan untuk mempersembahkan trofi yang sudah dinanti penggemar mereka selama 11 tahun. Apalagi lawan yang dihadapi “hanya” Chelsea yang tidak sekuat Real Madrid dan Barcelona. 

Semua mata pun tertuju ke Allianz Arena pada Minggu (20/5) dini hari tadi (Sabtu malam waktu Jerman). Siapa gerangan yang menjadi raja Eropa tahun ini, apakah Muenchen untuk kelima kalinya, ataukah Chelsea untuk kali pertama. Seperti biasa, kita bisa saksikan di layar RCTI dini hari tadi, Lahm dkk. mendominasi pertandingan. Puluhan peluang dihasilkan dari kaki Mario Gomez, Thomas Mueller, dan tentu saja: Robben dan Ribery. 

Pertahanan Chelsea agak sulit ditembus meski tanpa kehadiran John Terry. Lini tengah The Blues pun tak mampu meredam Bastian Schweinsteiger dan Toni Kroos karena tak ada lagi Ramires seperti ketika menghadapi Barcelona. Praktis, Chelsea tak punya peluang berarti karena bek-bek Bayern juga sangat disiplin. 

Allianz Arena pun seolah ingin menjadi saksi sisi dramatis babak final. Gol baru tercipta di sepuluh menit akhir pertandingan. Thomas Mueller membuat gembira suporternya dengan tandukannya di depan gawang Petr Cech pada menit ke 82. Seolah hasil itu sudah cukup, sang pencetak gol ditarik beberapa menit kemudian untuk diganti dengan Daniel van Buyten. 

Pemain Chelsea sadar, Muenchen hanya ingin mempertahankan skor 1-0. Maka Lampard dkk. pun memanfaatkan kesempatan yang ada, termasuk dari tendangan pojok. Tak disangka-sangka, Didier Drogba kembali menunjukkan bahwa dirinya memang “killing punch” Chelsea. Memanfaatkan tendangan pojok, Drogba menyundul bola yang tak mampu ditepis Manuel Neuer pada menit ke-88. Skor 1-1 ini bertahan hingga wasit Proenca meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan. 

Final Liga Champion kembali harus menempuh extra time sejak terakhir kali terjadi pada 2008—yang juga melibatkan Chelsea. Terjadilah petaka di babak tambahan ini. Drogba yang sebelumnya jadi penyelamat, turun ke wilayah pertahanan dan secara tiba-tiba “melibas” kaki Ribery yang sedang mengiring bola di kotak penalti. Wasit menunjuk titik putih dan kartu kuning keluar dari kantongnya. 

Penalti adalah sebuah keuntungan, tapi akan jadi sebaliknya jika eksekusi gagal. Terlebih pemain yang dilanggar harus dipapah keluar lapangan karena mengalami cedera parah. Dan memang inilah yang diterima anak asuh Heynckes. Babak pertama tambahan waktu menjadi saksi kembali tidak utuhnya duet “Robbery”. Kali ini bukan akumulasi kartu, melainkan cedera yang kembali harus mengorbankan Franck Ribery. Arjen Robben tentu saja merasa sedih, meski pipinya sempat terkena bogem mentah dari sahabatnya itu, sebulan yang lalu. 

Robben mungkin linglung, tapi dia tetap mengambil bola penalti. Sedangkan kita bisa saksikan dari layar kaca, Schweni sampai-sampai tidak berani melihat jalannya eksekusi penalti dan memilih mendekat ke gawang Neuer. Mungkin dia khawatir, cedera Ribery mempengaruhi psikologis Robben. 

Apa yang dikhawatirkan itu terbukti karena Cech membaca arah bola dengan tepat. Kegagalan Robben membuat ribuan fansnya di Allianz tidak bisa berkata-kata. Sekaligus, itulah peluang terakhir kedua tim di babak tambahan waktu, sehingga adu penalti adalah pilihan terakhir untuk menentukan siapa pemenang laga final. 

Hasil penalti itu kemudian memutuskan: Chelsea menang 4-3. Bastian Schweinsteiger, sang penendang terakhir, gagal menjadi penentu seperti di babak semifinal. Sepakannya mengenai tiang yang memantulkan sang kulit bundar ke lapangan. Seandainya Schweni berhasil, maka gol Drogba, sebagai penendang terakhir Chelsea, belum akan menjadi klimaks dari drama di Muenchen itu. 

Namun, lagi-lagi seorang Drogba membuktikan dirinya sebagai “killing punch”: pukulan mematikan. “Pukulan”-nya menjadi penentu “KO” tidaknya sang musuh. Drogba malam itu adalah pahlawan dan akan menjadi legenda The Blues yang dikenang abadi. Kesetiaannya selama delapan tahun mengenakan kostum biru berbuah hasil manis. Dialah satu-satunya yang masih bertahan dari “angkatan 2004”, yang didatangkan Roman Abramovich bersamaan dengan Jose Mourinho, Richardo Carvalho, dan…………………

Arjen Robben! Kembali dia tertunduk lesu seperti tahun final 2010 dan final Piala Dunia 2010. Belum pernah diraihnya gelar bergengsi karena harus kembali gagal di partai puncak. Juga Ribery yang pernah gagal bersama Prancis di final Piala Dunia 2006. 

Andai saja “Robbery” tetap utuh hingga waktu berakhir, mungkin cerita di Allianz bakal berkata beda. Sudah terbukti, Robben tak bisa berbuat apa-apa tanpa Ribery, begitu pun sebaliknya. Sekiranya mereka tetap bersama, Bayern akan kembali merengkuh kejayaannya yang sempat hilang  bertahun-tahun lampau. Semoga fans Bayern Muenchen masih sabar menunggu kejayaan yang diidam-idamkan tersebut. Entah kapan…

Sumber gambar di sini

Komentar

Terpopuler

You’ll Never RACIST Alone, Suarez!

Kehebatan Barcelona: Tiki-taka, La Masia, dan Wasit!

Yang Kurang dari Penjelasan Ilmuwan tentang Lionel Messi