Kapan Jerman Berhenti Puasa?

Mendapat julukan “Spesialis Turnamen” adalah beban bagi Jerman. Der Panzer selalu dituntut untuk meraih hasil terbaik di turnamen-turnamen besar yang diikuti, khususnya Piala Dunia dan Piala Eropa. Kegemilangan era Franz Beckenbauer dan Lothar Matthaeus yang merentang dari awal 1970 hingga pertengahan 1990-an kini terasa berat untuk coba diulangi kembali.

Jerman tidak merasakan nikmat juara di dekade awal milenium ini. Tentulah kekosongon itu adalah aib tersendiri bagi bangsa Jerman yang dahulu gilang gemilang dengan kejayaannya. Di bawah Rudy Voeller dan Joachim Loew, Jerman bisa menggapai babak tertinggi Piala Dunia (2002) dan Euro (2008). Tapi sekali lagi, hanya final. Juga capaian semifinal di dua Piala Dunia terakhir seolah tanpa arti. Spesialis Turnamen yang diartikan oleh orang Jerman adalah spesialis menggondol trofi!

Ketika Piala Eropa 2012 hendak bergulir, hampir semua sepakat bahwa Jerman adalah calon tunggal perengkuh gelar. Hanya Spanyol dan Belanda yang bisa menjadi batu sandungan. Semua ini didasarkan hasil kualifikasi yang sempurna dan performa pemain-pemain Tim Diesel di level klub. Joachim Loew mampu meracik strategi jitu dengan gaya agresif. Intinya, ini adalah Jerman yang berbeda.

Undian penyisihan grup yang menempatkan Jerman di grup neraka bersama Belanda, Portugal, dan Denmark memang cukup membuat khawatir. Tapi ketika pada akhirnya cobaan ini berhasil dilalui dengan hasil sempurna, maka tambah kuatlah keyakinan bahwa Jerman akan berada di partai puncak. Apalagi, tim-tim kuat lainnya tidak ada yang mendapatkan tiga kemenangan di fase grup.

Yunani, tim kejutan dari grup A, berhasil dibantai 4-2 di babak perempatfinal. Meski Yunani bukan tim kuat, benteng pertahanannya yang kokoh itu terbukti mampu menghempaskan Rusia yang agresif. Maka, siapapun yang bisa mengalahkan Yunani, dianggap akan mampu menghadapi “ibu”-nya permainan bertahan: Italia. Ozil dkk. bakal berjumpa Azzurri di babak semifinal.

Tapi Azzurri kali ini tampil dengan gaya berbeda. Tidak mengusung cattenacio, tapi bermain cerdik. Spanyol merasakan sendiri menderitanya meladeni Italia di fase grup. Bukannya menumpuk bek, Prandelli justru menumpuk pemain di sektor tengah. Formasi 3-5-2 yang di Indonesia masih sering dipakai itu, berhasil merusak gaya La Furia Roja. Pertandingan Spanyol-Italia yang berakhir imbang 1-1 memuaskan semua yang menyaksikannya.

Italia memang lolos dari grup C dengan sedikit keberuntungan. Sebagai runner-up grup, Azzurri bertemu Inggris yang di turnamen kali ini juga berwajah beda. Hodgson meniru gaya jadul Italia: bertahan. Maka, sudah bisa ditebak, permaian akan membosankan. Adu penalti meloloskan Italia yang mempertemukannya dengan Jerman.

***

Duel pengoleksi tujuh Piala Dunia ini tentu sangat mahal nilainya. Italia dan Jerman adalah “poros” Eropa. Ini tidak ada sangkut paut dengan “Blok Poros” Adolf Hitler-Benito Mussolini pada Perang Dunia II tentu saja. Tapi keduanya adalah kutub sepak bola Eropa yang belum sanggup disaingi oleh negara lainnya.

Italia memang tidak dijagokan di Euro kali ini. Tapi sejarah masa lalunya tidak mengatakan demikian. Jerman selalu inferior ketika berhadapan dengan musuh selatannya ini. Dalam sepak bola, sisi nonteknis ini juga menentukan. Sama halnya dengan spirit lagu kebangsaan yang dinyanyikan kala hendak bertanding. Semua pemain Italia, entah darahnya murni italiano, separuh saja, atau bahkan tidak punya sama sekali menyanyikan dengan penuh semangat lagu kebangsaanya itu. Kita bisa melihat sendiri di televisi seorang Gianluigi Buffon lantang bernyanyi sambil menutup mata. Pun begitu seorang Mario Balotelli yang berdarah Ghana.

Inilah yang tidak dimiliki oleh tim Jerman. Seorang Lukas Podolski tetap merasa dirinya adalah orang Polandia. Begitu pula Jerome Boateng yang berdarah Ghana, Mesut Ozil yang Turki dan Sami Khedira yang orang tuanya berasal dari wilayah Maghribi Afrika, Tunisia. Lagu kebangsaan Jerman yang sangat syahdu itu tidak dinyanyikan utuh oleh semua pasukan Der Panzer.

Alhasil, spirit itu kemudian tertular ke pemain Italia di lapangan. Tentu dalam sepak bola pada akhirnya kita membicarakan teknis. Dua gol Mario Balotelli di babak pertama akan dilihat sebagai kemampuannya menempatkan posisi atau karena kesalahan pemain belakang Jerman. Bisa juga semata kelihaian Antonio Cassano dan Montolivo memberi umpan untuk pemain Manchester City ini.

Jerman yang menurut Vicente del Bosque tidak punya kelemahan itu tidak berkutit menghadapi kecerdikan Pirlo dkk.. Jerman mencoba menguasai bola di atas rumput yang bopeng. Tapi seperti halnya Spanyol, penguasaan itu hanya di luar kotak penalti. Pertahanan Italia terbukti kokoh dan sulit ditembus oleh sayap lawan. Ozil dan Schweni gagal menunjukkan kebintangan mereka seperti di fase grup dan perempat final.

Apapun penilaian teknis, itu tak akan menutup fakta sejarah: Jerman gagal melaju ke partai final. Rakyat Jerman yang berharap puasa gelar akan berakhir di tahun ke-16 ini harus kembali menerima sebuah kenyataan pahit. Semua upaya telah dilakukan pelatih termasuk menghilangkan gaya permainan Jerman masa lalu yang kaku dan disiplin meski tidak menghibur itu. Dengan gaya barunya, Jerman memang bisa memberi ekspektasi. Tapi akhirnya yang dirindu adalah trofi. 

Sumber gambar di sini

Komentar

Terpopuler

Perempat Final Sensasional di Piala Asia U-23

Hasil Ultra Petita dari Shin Tae-yong

Level Tinggi Garuda Muda