El Clasico Tidak Lagi Klasik
sumber gambar: fcbarcelona.com |
Santiago Bernabeu Rabu Malam—Kamis dinihari waktu
Indonesia—layaknya sebuah panggung. Bukan panggung secara kiasan, tapi panggung
dalam arti sebenarnya. Stadion berkapasitas 85 ribu kursi itu menjadi saksi
bagaimana pemain Real Madrid dan Barcelona bukan murni bermain sepak bola. Tapi
lebih dari itu: bermain sandiwara.
Pepe, Callejon, Besquet, dan Lionel Messi. Inilah nama-nama
yang paling pantas ditiru aktingnya oleh para pemain sinetron. Kameramen
televisi menangkap gambar para pemain tersebut dari berbagai sudut. Kita pun
saksikan kepintaran mereka berpura-pura kesakitan.
Pertandingan memang berakhir dengan, lagi-lagi,
kekalahan tuan rumah. El Real masih belum mampu mengalahkan musuh abadinya itu,
bahkan, di kandangnya sendiri. Seorang Cristiano Ronaldo yang harganya
tertinggi di kolong langit, belum bisa memberikan sentuhan ajaibnya. Gol
pertamanya memang membuka asa supporter. Namun, setelah itu, Madrid tak bisa
menemukan ritme yang cocok untuk meredam El Barca. Penguasaan bola yang cuma 30
persen menjadi bukti. Madrid pun kalah lewat dua gol Puyol dan Eric Abidal.
Ini menjadi dejavu laga pertama El Clasico Liga Primer
Spanyol Desember 2011 lalu. Di tempat yang sama Madrid harus menahan malu dengan
kebobolan tiga gol.
Ada apa dengan Real Madrid? Mana itu sentuhan magis
Jose Mourinho? Tidakkah pertandingan-pertandingan yang lalu memberi pelajaran
bagi tim ibukota Spanyol ini? Padahal dalam semusim mereka bisa bertemu hingga
enam kali dalam berbagai ajang. Duel semalam adalah fase knock out Piala Raja
Spanyol. Itu artinya, di tingkat nasional saja mereka akan bertemu empat kali, dua
kali kandang-tandang. Belum lagi jika kedua tim menuai hasil manis di Liga
Champion.
Tapi bagi Madrid kemungkinan pertemuan ini bisa jadi
merupakan petaka. Seringnya bertemu Barcelona akan membuat rekor kemenangan
Madrid atas tim Catalan itu makin menipis. Jika dulunya mereka bertemu hanya
dua kali dalam semusim, kini bisa tiga kalinya. Andai dua pertemuan semusim ini
berujung kekalahan, berarti enam kali berhadapan sama dengan tiga musim liga
Spanyol. Dan ini terjadi di masa keemasan Barcelona.
Ketakutan ini menghinggapi seorang Iker Casillas. Dia
sudah merasakan duel tersebut sejak tahun 2000. Itu artinya, di kubu Los
Merengues, dialah yang paling sering tampil. Di pihak Barca, diwakili Puyol.
Tapi semenjak tahun 2008, Barca lah yang perkasa. Bahkan
di musim 2008/2009 dan musim 2010/2011, gawang Casillas pernah dibobol masing-masing
enam dan lima gol oleh pemain-pemain Catalan. Kapten Spanyol ini tentu tidak
mau pamornya rusak lantaran paling sering kebobolan dalam sejarah El Clasico.
Casillas pun membuat pernyataan mengejutkan pada Kamis
(12/1) lalu. Seperti bisa dibaca di sini, Casillas mengatakan pamor El Clasico
sudah menurun. "Ketika
laga itu (El Clasico) masih jarang, memang terasa menyenangkan. Tetapi, ketika
laga itu terlalu sering, Anda akan merasa jenuh," ujar kiper
nomor satu Spamyol itu.
Bagi Casillas, Madristas, dan etnis Castilla Spanyol, kekhawatiran
ini wajar. Tapi tidak bagi televisi, sponsor, dan manajemen kedua klub. Laga
kedua tim adalah yang paling ditunggu-tunggu di seantero jagat. Betapa banyak
keuntungan komersial yang diraih jika kedua tim sering bertemu.
Tidak ada yang tahu sampai kapan Barcelona sedigdaya
ini. Mungkin dari segi gelar Madrid masih bisa mengejarnya. Di La Liga mereka
unggul lima angka dengan penampilan yang konstan. Tapi bagaimanapun, sudah jadi
sebuah dogma jika “tidak lengkap gelar juara tanpa bisa mengalahkan musuh abadi”.
Untuk Madrid, mungkin head-to-head dengan Barca dalam waktu dekat masih akan
terus berakhir derita. Tapi setidaknya mereka bisa meraih gelar.
Inilah sepak bola! Duel El Clasico akan terus menghasilkan uang. Tapi
laga ini sudah kehilangan geregetnya. Dengan kata lain, El Clasico bukan lagi
laga klasik dalam arti sesuatu yang bernilai sejarah—serta langka. Lebih tepat
kalau disebut ini sebagai El Dinero alias laga uang!
yang penting barca menang
BalasHapusjual jersey as roma