Andai Chelsea Seorang Wanita


sumber gambar: chelseafc.com

Chelsea mungkin salah satu klub terunik di dunia. Dalam dunia sepak bola yang identik dengan maskulinitas, ternyata ada sebuah klub yang memakai nama seorang perempuan.

Kalau sesepuh Chelsea di London sana ditanya asal-muasal nama itu, pastilah mereka membantah soal gender karena Chelsea adalah sebuah distrik di kota London tempat klub ini berdiri. Lazimlah apabila sebuah klub menyandang nama daerah asalnya. Tottenham, West Ham, Crystal Palace, adalah beberapa distrik di London yang juga punya klub-klub kebangaan yang sudah kita kenal dan saksikan penampilannya. 

Sampai saat ini Chelsea sudah menjelma menjadi klub besar di Inggris. Terutama sejak orang kaya Rusia bernama Roman Abramovich mengakuisisi klub yang bermarkas di Stamford Bridge ini. Chelsea pun mendatangkan banyak pemain bintang dan pelatih hebat. Prestasi demi prestasinya pun mewarnai sepak bola Eropa dalam waktu delapan tahun terakhir. 

Tapi Roman juga menjadi titik lemah bagi The Blues. Obsesi Roman lebih besar ketimbang fondasi klub itu sendiri. Chelsea diharapkan terus berprestasi padahal dalam sepak bola tidak ada yang bisa didapat dalam waktu sekejap. Manakala klub ini tak meraih trofi, pelatih akan menjadi pihak yang paling disalahkan. Nama-nama tenar dalam sepak bola Eropa dan dunia dengan enaknya ditendang ketika ekspektasi raja minyak dari Rusia ini urung terwujud. 

Jose Mourinho, Luiz Felipe Scolari, dan Carlo Ancelotti sudah merasakannya. Umur mereka di klub hanya seumur jagung—jika dibandingkan dengan masa kepelatihan Sir Alex, Arsene Wenger, dan David Moyes. Sehingga ketika pada musim 2011/2012 ini Roman (kalaupun ini pilihan manajemen pasti atas persetujuannya juga) meminang Andre Villas Boas, seolah dia bak mengeluarkan uang untuk main di kasino. Jelas ini perjudian karena selain muda, Boas minim pengalaman. 

Andai Roman berpikir jangka panjang, bolehlah Boas jadi pilihan bijak. Tapi semua orang tahu bahwa dia tidak berpikir ke sana. Apa yang diinginkan Roman adalah prestasi, prestasi, dan prestasi. Terlebih trofi Liga Champion. Boas yang meneriman tawaran pun bak seorang “ababil” (ABG labil) yang senang terima tantangan tanpa pikir panjang konsekuensinya. Boas mungkin merasa jatuh hati Roman mau bayar kompensasi pemutusan kontaknya sebagai pelatih Porto yang konon besarnya 20 juta pound. 

Tapi bagaimana realita berbicara? Kita semua bisa saksikan betapa pemain-pemain Chelsea pun terkena sindrom ababil ini alias labil penampilannya. The Blues bisa beringas dalam satu pertandingan, tapi memble di laga berikutnya. Di Stamford Bridge tim sekuat Manchester City bisa ditaklukkan, tapi di tempat yang sama Manchester United bisa tersenyum. 

Inilah yang kita bisa lihat kemarin malam. Sturridge, dkk., yang sudah unggul 3-0 harus kehilangan poin berharga karena hanya bisa bermain imbang. Dua penalti Rooney dan sebuah sundulan Javier Chicarito Hernandez membuat suporter Chelsea hanya menatap kosong di tengah sorakan pendukung MU. Tiga angka melayang begitu saja. Kesempatan mengejar Tottenham pun malayang sudah. 

Bukan wasit yang harus disalahkan seperti yang dikatakan Boas. Tapi tampak jelas pemain-pemain Chelsea kurang menggigit. Mereka pikir dengan memimpin laga, bisa meraih kemenangan. Padahal sepak bola—apalagi liga Inggris—adalah permainan 90 menit plus. Sebelum wasit meniup peluit, kemenangan itu hanya ada di awang-awang. 

Pendukung Chelsea mungkin akan bersedih dengan hasil ini. Klub kesayangan mereka sudah semakin sulit bersaing dengan klub-klub papan atas. Tahun ini posisi empat besar barangkali masih bisa diraih. Tapi musim depan tampaknya Chelsea sudah berada di luar big four yang konsekuensinya: tidak berlaga di Liga Champion. 

Semua orang mungkin bakal bersedih melihat tidak ikut sertanya Chelsea di kancah tertinggi Eropa. Tapi saya tidak termasuk di antaranya. Saya justru senang karena klub ini bisa menjadi pengingat bahwa dalam sepak bola uang bukanlah segalanya. Inter Milan yang dulu royal menghabiskan uang kini sudah berubah dengan lebih bijak belanja pemain. 

Saya memang sedih manakala seorang wanita mengalami kesusahan dan kesulitan. Andai Chelsea adalah seorang wanita. Tapi Chelsea ini adalah klub sepak bola, bukan kaum hawa. Saya pun tidak perlu bersedih karenanya.

Komentar

Terpopuler

You’ll Never RACIST Alone, Suarez!

Kehebatan Barcelona: Tiki-taka, La Masia, dan Wasit!

Yang Kurang dari Penjelasan Ilmuwan tentang Lionel Messi