PSSI “Dimakan” Ibunya Sendiri
Beberapa tahun lalu, timnas Indonesia sering disebut
orang-orang dengan nama “tim PSSI”. Ini tentu agak ganjil karena PSSI hanyalah
sebuah induk olahraga sedangkan tim nasional biasanya membawa nama negara. Belum
lagi, di dada kiri seragam timnas, tidak terpampang logo PSSI sebagaimana
timnas negara-negara lain. Lambang negara Garuda Pancasila-lah yang dipakai.
Menurut kisah yang pernah saya baca, sebutan “tim PSSI”
itu bermula dari dualisme induk sepak bola di Indonesia semasa penjajahan
Belanda dan beberapa saat sesudah Indonesia merdeka. Ada federasi yang
didirikan oleh orang-orang Belanda; dan ada PSSI sendiri yang didirikan oleh
Suratin pada tahun 1930.
PSSI dilahirkan oleh tujuh klub sepak bola yang di
antaranya sekarang bermetamorfosis menjadi Persija Jakarta, Persebaya Surabaya,
Persis Solo, PSIM Yogyakarta, PPSM Magelang. PSSI dibuat sebagai bentuk
perlawanan terhadap ketidakadilan orang-orang Belanda. Itu artinya, tatkala
pada tahun 1938 Hindia Belanda bermain di Piala Dunia, PSSI bukanlah yang
mewakili Indonesia.
PSSI kemudian memenangkan dualisme ini setelah diakui
FIFA pada tahun 1952. Tapi psikologis dua federasi sepak bola membuat
orang-orang Indonesia nasionalis terlanjur menyebut timnas Indonesia sebagai
“tim PSSI”. Barulah kita yang muda-muda ini tidak lagi menyebut nama aneh itu.
Jika kita masih menggunakan nama itu, mungkin tepatlah
jika kita katakan bahwa kemarin “tim PSSI” takluk oleh salah satu pendirinya,
Persatuan Sepak Bola Surabaya alias Persebaya. Laga di Gelora Bung Tomo
Surabaya itu dhbuat dalam rangka uji coba timnas Indonesia sebelum menghadapi
Bahrain di Pra Piala Dunia.
Menyaksikan laga itu, kita mungkin kecewa karena
timnas kalah oleh gol tunggal Otavio Dutra dari titik penalti. Tapi bukan soal
kalah yang menjadi poin penting. Permainan timnas ternyata jauh dari kata
“layak”.
Inilah buntut dari kisruh sepak bola. Pemain-pemain
terbaik Indonesia tidak memperkuat negaranya karena terlanjur main di liga yang
tidak diakui oleh PSSI dan FIFA. Sedangkan pemain di liga resmi banyak yang
belum pernah memakai seragam Merah Putih.
Akibatnya seperti kita saksikan kemarin. Para pemain
masih belum mengerti keinginan rekan-rekannya. Ada yang memberi umpan ke depan
tapi pemain lainnya malah menunggu bola. Sedangkan di bagian lain seorang
penyerang membawa bola sendirian ke dapan, namun tiba-tiba bingung mengumpan ke
mana karena pemain lainnya masih berdiri jauh.
Jika tim U-23 di SEA Games lalu di awal-awal
menghadapi masalah serupa, tapi kita masih bisa melihat aksi-aksi individu
menawan dari Titus Bonai, Andik Vermansyah, dan Okto Maniani. Tapi kemarin
mereka tidak ada dengan alasan yang berbeda.
Dari hasil kemarin, bolehlah kita siap-siap untuk
mengelus dada pada saat melawan Bahrain nanti. Tidak ada harapan sedikitpun
dari sisi teknis. Satu-satunya harapan hanyalah faktor-faktor nonteknis yang
dalam sepak bola tak jarang bisa terjadi. Entah apapun itu, pastinya dukungan
kita pada timnas tidak akan pernah luntur. Seperti halnya dulu PSSI di awal
berdirinya selalu didukung rakyat Indonesia meskipun ada yang lain yang lebih
kuat…
Komentar
Posting Komentar