Menafsirkan “Rendah Diri” Mourinho
![]() |
sumber gambar: realmadrid.com |
Jarang seorang Jose Mourinho pesimistis di media. Di
klub-klubnya terdahulu, ia selalu memancarkan optimisme yang menular ke pemainnya
di lapangan. Mou memang hebat dalam hal ini karena kita tahu dia tidak punya
pengalaman sebagai pemain.
Semua klub yang diarsiteki Mourinho mendapatkan gelar
bergengsi. Porto, Chelsea, Inter Milan merasakan tangan dingin The Special One sehinggga kenangan
tentangnya terpatri terus di kepala pemain, manajemen, dan tentu saja suporter.
Kini giliran Real Madrid yang menginginkan hal serupa.
Tahun 2010, sesudah diantarnya Inter Milan merebut trofi Liga Champion, Mou
langsung bersepakat dengan Florentino Perez yang meminangnya. Perez sudah
mendatangkan bintang-bintang mahal yang siap menanti sentuhan emas pelatih asal
Portugal itu.
Mou dan Real Madrid punya tujuan yang sama: merebut
supremasi Spanyol dari Barcelona. Mou sudah melakukannya di Liga Champion
dengan mengalahkan skuad Pep Guardiola di semifinal yang menegangkan. Tapi di
Spanyol, keperkasaan Blaugrana tidak bisa disentuh oleh The New Galacticos Real Madrid. Di El Clasico kalah, pun demikian
di kompetisi.
Pada awal kedatangannya Mou tentu dihinggapi rasa
kepercayaan diri. Tapi ternyata apa yang diharapkan tidak beriring dengan
realita. Laga perdana El Clasico membuat Mou harus tertunduk malu: dihajar lima
gol tanpa balas di Nou Camp. Pertandingan kedua di Santiago Bernabeu hanya berakhir
imbang. Pembalasan dendam hanya tercapai di final Copa del Rey. Gelar perdana
pun dipersembahkannya untuk Los Blancos. Musim 2010/2011 pun masih tahunnya
Barcelona. Anak asuhan Guardiola meraih dua gelar bergengsi yakni juara La Liga
dan Liga Champion.
Musim ini Madrid berada di jalur juara Liga Spanyol. Los
Merengues memimpin klasemen sementara dengan unggul 10 poin dari El Barca. Orang-orang
banyak, terutama Madridistas, sudah membayangkan pada bulan Mei nanti gelar
ke-32 akan masuk ke lemari Madrid. Di Liga Champion pun El Real masih
berpeluang besar meraih trofi.
Di tengah "euforia" ini, tiba-tiba kemarin Mourinho
mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Di berbagai media dia mengatakan bahwa
menjuarai kompetisi tingkat Eropa itu bukan menjadi prioritasnya. Ia lebih
terobsesi menjuarai La Liga yang menurutnya, “hanya tim terbaik yang bisa
menjuarainya”.
Manajemen Madrid dan Madridistas mungkin terkejut
dengan “kerendahdirian” The Special One.
Bagaimanapun, piala Champion belum pernah kembali hingga ke kota Madrid
semenjak tahun 2002. Artinya, jika dihitung-hitung, juara di ajang ini lebih
menjadi pilihan pertama ketimbang liga domestik yang “hanya” tiga musim
berpindah tangan ke wilayah Catalan.
Bagaimana menafsirkan pernyataan Mou ini? Sederhana
saja. Menurut saya, Real Madrid tak lebih dari sebuah alat untuk obsesi pribadi
Mourinho. Tentu saja tiap pelatih punya obsesi pribadi ketika menangani sebuah
tim, apalagi Klub Terbaik Abad 20.
Tapi obsesi pribadinya bukanlah gelar Champion karena
dia sudah cukup puas dengan dua trofi sejauh ini. Tapi yang lebih utama adalah:
membuat Barcelona bertekuk lutut di semua kompetisi yang dihadapi Mou. Di
Eropa, dia sudah menaklukkan Barcelona lewat Inter Milan. Begitupun di Piala
Raja Spanyol. La Liga-lah satu-satunya kompetisi yang belum membuat tim Catalan
kalah dari tim asuhannya.
Mengapa bisa sampai seperti ini? Saya yakin Mourinho
pasti percaya bahwa Barcelona era Guardioala adalah tim terkuat di permulaan
abad ke-21. Dengan mengalahkan tim ini di semua ajang, lewat meraih juara, maka
Mou akan mencatatkan diri sebagai satu-satunya pelatih yang bisa menaklukkan
Barca di masa jayanya. Dan, itu hanya tinggal Liga Spanyol.
Mungkin ini sangat menyedihkan bagi Madrid yang telah
berkorban banyak untuk menuruti semua keinginan Mou. Dari pelengseran direktur
umum yang tak lazim, merusak reputasi El Clasico dengan ulah-ulah kurang
bermartabat, hingga dalam berhubungan dengan media. Padahal Madrid menyandang
nama “Real” (artinya “Kerajaan” yang menjadi klubnya Kerajaan Spanyol) yang
seperti kita tahu lekat dengan nilai-nilai kehormatan. Tapi itu dirusak oleh
seorang Portugal bernama Jose Mourinho.
Boleh jadi dugaan saya ini keliru. Tapi untuk memahami
seorang Jose dibutuhkan analisis yang jauh lebih mendalam ketimbang apa yang
tampak di permukaan. Jika saya benar, Madrid sudah terlanjur takluk oleh taktik
Mourinho yang hanya menjadikannya tak lebih dari sekedar alat pribadinya.
Karena kita juga tahu hati sebenarnya Mourinho berada di Negeri Inggris.
Komentar
Posting Komentar