Andai si Batak itu Orang Indonesia
![]() |
sumber gambar: legaseriea.it |
Adalah ironi punya saudara sebangsa tapi berbeda
negara. Zaman dahulu konsep kebangsaan yang berbatas teritorial belum dikenal.
Namun ketika politik makin kompleks, definisi bangsa juga berubah.
Sebuah bangsa untuk ukuran zaman lampau adalah
kumpulan manusia yang sama bahasa, warna kulit, bahkan agama. Jadi orang Cina
yang tinggal di Jawa tetaplah dipandang bangsa Cina. Orang Yahudi yang tinggal
di Prancis—hingga abad ke-19—dianggap sebagai bangsa asing meskipun sudah
turun-temurun tinggal di sana.
Tapi definisi itu berubah. Seorang filosof Prancis abad 19
Ernest Renan dalam bukunya yang terkenal Qu'est-ce Qu'une Nation
mengajukan teori bahwa motif berbangsa sebenarnya “keinginan untuk
hidup bersama”, bukan pertalian darah. Konsep inilah yang diadopsi Bapak Bangsa
Indonesia semenjak Sumpah Pemuda 1928 hingga dalam sidang BPUPKI 1945.
Konsep ini mungkin indah, tapi terkadang kurang masuk
akal. Ketika melihat ada orang berbahasa Jawa di Suriname atau orang Ambon di
Belanda, muncullah pertanyaan: mengapa mereka tidak menjadi warga negara
Indonesia—yang secara otomatis mnjadi bangsa Indonesia?
Inilah yang juga kita temui dalam sepak bola. Banyak
pesepak bola luar negeri yang punya talian darah dengan Indonesia namun tidak
bermain untuk Indonesia. Giovanni van Bronckhorst adalah
satu contoh. Putra Maluku ini seumur hidup bemain untuk Belanda bahkan hingga dibawanya
ke final Piala Dunia 2010.
Di tahun belakangan ini kita mendengar ada lagi
seorang berdarah Indonesia bermain di liga elit Eropa. Namanya sudah tidak
asing: Radja Nainggolan. Jika merujuk definisi bangsa yang pertama, Batak
adalah “bangsa”-nya Radja. Tapi dalam negara Indonesia, Batak hanyalah salah
satu suku di samping ratusan suku bangsa lainnya. Sudah pasti, setiap orang
Batak menjadi bangsa Indonesia.
Menjadi Indonesia bagi pemain sepak bola artinya
membela timnas Indonesia. Kita pun bisa melihat latar belakang suku yang
beragam dalam skuad Merah Putih. Tidak ada diskriminasi dan jatah-jatahan.
Pemain adalah manusia-manusia Indonesia pilihan yang siap sedia membela
negaranya.
Tapi Radja bukanlah bagian dari bangsa kita. Lahir
dari seorang pria Batak yang menikah dengan wanita Belgia, Radja besar di
negara pecahan Belanda tersebut. Sebagaimana orang Batak di manapun, melekat
jugalah marga sang ayah di belakang namanya. Namun itu hanyalah sekedar
tempelan, sebagai identitas yang terpaksa. Sedang hati sang Radja terpaut erat
dengan Belgia. Bukan dengan Tanah Tapanuli apalagi Indonesia.
Pilihan Radja semakin menegaskan kebenaran teori
Renan. Bahwa berbangsa pada dasarnya adalah keinginan untuk hidup bersama. Radja
tidak mungkin mau menjadi warga negara Indonesia karena dia hanya sebentar saja
menginjak Tanah Air kita ini. Dari persentuhan yang sedikit ini, kecil pula
keinginan bersama tersebut.
Sebagai pecinta sepak bola Indonesia tentu hati kecil
berkata agar dia membela negara tempat nenek moyangnya tinggal. Betapa bangga
pula kita melihat pemain yang, mungkin sesaat lagi bermain di Juventus atau AC
Milan, membawa nama Indonesia.
Namun kita perlu bertanya lagi, apakah dasar dari
keinginan itu? Bukankah hanya agar timnas kita tambah jaya dan bisa bermain
hingga ke kejuaraan besar? Jika jawabannya ya, kita mungkin telah keliru. Melahirkan
pemain tidak bisa dalam tempo sesingkat-singkatnya. Pemain dicetak sedari kecil
dari cara menyepak bola hingga bagaimana menerjemahkan strategi pelatih. Kita
belum memiliki program ini. Kalaupun ada belum berjalan secara masif.
Andai suatu saat nanti bisa berjalan, obsesi memiliki orang
asing seperti Radja Nainggolan akan terkikis dengan sendirinya. Biarlah mereka yang
hatinya hanya untuk Indonesia yang akan membela negeri ini. Meski kita harus
menunggu lama agar bisa mendapat pemain-pemain seperti Radja Nainggolan…
makasih infor masinya gan
BalasHapusObat Tradisional Maag Kronis