Pesona “Jompo-Jompo” Palembang
![]() |
sumber gambar: sfc-mania.net |
Dari pengamatan saya sejauh ini, ada tiga klub di liga
Indonesia, baik itu ISL maupun IPL, yang memikat permainannya. Tiga klub itu
adalah Persipura dan Sriwijaya FC yang bermain di ISL serta Persebaya yang
berlaga di IPL.
Ketiga tim itu bermain sangat atraktif dengan
mengandalkan umpan-umpan pendek nan cepat. Kelebihan Persipura adalah perpaduan antara
pemain senior dan yunior. Kekompakan tim juga sangat terasa karena
pemain-pemain klub asal Jayapura itu sudah bemain bersama-sama dalam dua-tiga
tahun ini.
Dari sisi pemain, Persebaya hampir sama dengan
Persipura. Pemain senior seperti Mat Halil dan Erol Iba menjadi pendamping yang
baik untuk pemain muda seperti Andik Vermansyah, Rendi Irawan, dan Feri
Ariawan. Namun tim ini punya titik lemah: kurang buas di depan kotak penalti. Permainan
cepat yang diperagakan menjadi tidak efektif ketika tinggal berhadapan dengan
kiper. Itu bisa kita lihat pada laga Persijap versus Persebaya pada Senin lalu.
Dibanding dua klub itu, Sriwijaya sedikit berbeda. Klub
ini memang menyandang nama besar, terutama sejak ditangani Rahmad Darmawan pada
tahun 2007 hingga 2010. Tapi karena klub
ini masih “bau kencur”, belum tampak pemain-pemain muda binaan asli klub
sebagaimana Persipura dan Persebaya. Berkat mesin uangnya, Laskar Wong Kito
berhasil mendatangkan bintang-bintang top, baik lokal maupun asing.
Pada ISL musim lalu, Sriwijaya FC tidak mengesankan. Pemain-pemain
senior macam M Ridwan, Ponaryo Astaman, Supardi, Firman Utina, Keith Kayamba
Gumbs, menunjukkan performa yang jauh memuaskan. Tapi manajemen tidak membuang
pemain-pemain itu pada musim 2011/2012 ini. Mereka pun hanya menambah sedikit amunisi
baru seperti trio Persib, Hilton Moreira, Siswanto, dan Nova Arianto.
Rupanya pilihan ini sangat jitu. Permainan Sriwijaya terdongkrak.
Entah karena sudah paham dengan karakter masing-masing, pemain-pemain Sriwijaya
sangat kompak. Setiap posisi menjalankan tugasnya untuk mendukung teman-teman
lainnya. Egoisme pemain juga minim. Akhirnya duo bomber mereka, Hilton Moreira
dan Keith Kayamba, menjadi top skor kompetisi. Mereka dimanja umpan-umpan
Firman dan Ponaryo. Lini pertahanan juga oke.
Ini bisa kita lihat dari dua penampilan Sriwijaya
terakhir. Sabtu lalu mereka membantai Persidafon dengan lima gol tanpa balas. Sore
tadi, Firman, dkk., juga mengahkan Deltras Sidoarjo dengan skor 3-1. Tidak
hanya kemenangan yang dihasilkan. Tapi lebih dari itu adalah permainan yang
enak ditonton. Ditambah lagi ada hiburan selebrasi unik dari setiap pemain usai
mencetak gol.
Saya sebetulnya tidak menyangka bahwa kehebatan itu
dibuat oleh pemain-pemain yang sudah uzur dalam ukuran karir atlet. Ridwan,
Firman, Ponaryo, Hilton sudah berumur 30 tahun lebih. Apalagi Gumbs yang
usianya sudah menginjak kepala empat. Tapi gaya mereka seolah mau menegaskan
bahwa mereka belum tamat dari sepak bola Indonesia. Mereka mau menunjukkan
bahwa usia bukanlah penghalang. Motivasi yang tinggi seolah mampu memudakan
umur. Itulah yang terlihat dari pasukan Gelora Jakabaring itu.
Tapi, di manapun, sebuah tim harus memikirkan
regenerasi. Manajemen apalagi warga Sumsel tentu tidak mau jika tim ini hanya
hebat di satu musim. Perlu ada penambahan pemain muda agar bisa belajar dari
senior mereka yang berpengalaman. Ini baik tidak hanya bagi Laskar Wong Kito,
tapi lebih dari itu adalah untuk pembinaan pemain muda Indonesia.
Keputusan manajemen Sriwijaya FC untuk bergabung
dengan ISL sebetulnya agak mengkawatirkan juga. Sudah pasti andaipun juara,
mereka tidak bisa berlaga di kompetisi Liga Champion Asia ataupun Piala AFC. Tapi
semua kita berharap agar konflik bisa segera usai demi kejayaan sepak bola
Indonesia itu sendiri.
Ketimbang memikirkan konflik, lebih baik sekarang kita
saksikan saja penampilan memikat dari “jompo-jompo” Palembang ini. Sepak bola
adalah sebuah hiburan, bukan perseteruan di luar arena. Sepanjang menghibur,
semua orang akan seiya sekata untuk mengatakan: sepak bola yang sesungguhnya
adalah di lapangan hijau!
Komentar
Posting Komentar