(Tidak) Selebrasi Pertanda Cinta

sumber gambar: fifa.com

Saya tidak pernah melihat kecintaan seorang pemain kepada mantan klubnya melebihi diri Gabriel Omar Batistuta. Lama dia bermain untuk Fiorentina di Serie A dari tahun 1991 hingga 2000. Selama itu pula banyak gol yang ia sumbangkan untuk La Viola termasuk gelar Coppa Italia

Tapi ada satu yang tidak diraihnya bersama Fiorentina: scudetto. Ini adalah obsesi tiap pemain termasuk Batigol tentu saja. Tapi untuk meraih gelar akan sangat sulit jika terus bersama tim asal Kota Firenze itu. 

Batistuta pun memilih hengkang pada tahun 2000. Ia pergi ke AS Roma, klub yang sebetulnya juga tidak punya tradisi juara. Tapi di klub itu ada pelatih mentereng, Fabio Cappelo, yang pernah membawa AC Milan juara Liga Champion 1994. Pemain-pemainnya juga tak kalah bagus dengan Juventus, Lazio, dan Inter Milan.

Satu hal yang dinanti apabila ikon klub pindah ke klub baru adalah ketika kedua tim bertemu. Inilah yang juga terjadi pada musim 2000/2001. Tapi batin Batistuta tidak sanggup untuk menghadapi bekas klubnya itu. Saya masih ingat kabar yang beredar  sebelum pertadingan bahwa Batistuta sempat meminta agar tidak dimainkan. Namun sepak bola adalah profesionalisme. Tidak dikenal rasa sayang apalagi sampai tidak bermain. Fabio Cappelo pun tetap memasangnya.  

Terjadilah kemudian peristiwa “memilukan” itu. Pertandingan sedang berlangsung ketika bola menghampiri kaki Batistuta yang sedang berlari di depan kotak penalti. Sempat memantul ke tanah sebentar, tak sampai hitungan detik bola itu langsung disambarnya. Gol ini membuat teriakan Romanisti yang berada di stadion membahana. Sebuah gol indah lahir. Tapi lebih dari itu, gol tersebut menjadi satu-satunya gol di pertandingan. Roma menang 1-0. 

Tidak ada perayaan sama sekali. Batistuta sedih karena harus mencetak gol ke gawang tim yang telah membuatkan patung dirinya di depan Artemio Franchi itu. Di akhir laga, pemain Argentina ini terlihat lunglai dan menghampiri suporter Fiorentina untuk meminta maaf. Sebuah makna luar biasa dalam sepak bola. Akhir cerita kemudian berbuah manis juga untuk Batigol. Di akhir musim Serigala Roma menempati posisi teratas klasemen. Mimpi Batistuta pun menjadi kenyataan. 

Inilah salah satu momen paling spesial yang pernah saya temui dalam sepak bola terutama di Serie A. Mungkin banyak pemain lain yang juga mencintai klub asalnya dan mengatakan tidak melakukan selebrasi jika mencetak gol. Tapi kebanyakan mereka gagal mencetak gol sehingga tidak ditemui momen sedramatis Batistuta. 

Saya teringat tentang momen ini ketika pada sore kemarin lusa (1 Februari) sedang menyaksikan laga Persisam Vs Arema. Yongki Aribowo usai menjebol gawang lawan, tidak merayakan golnya. Malah dia mengimpitkan kedua belah tangan seperti meminta maaf. Ini barangkali semacam permintaan maaf kepada para suporter Arema yang merupakan klubnya musim lalu. 

Apa yang dilakukan Yongki mungkin tidak terlalu luar biasa. Arema yang dihadapinya bukanlah Arema yang didukung mayoritas Aremania. Arema juga hanya menjadi pelabuhannya selama semusim. Ditambah lagi, dia bukan pemain inti di klub kebanggaan warga Malang Raya itu. Jadi Yongki bukan ikon klub sebagaimana Batistuta di Fiorentina. 

Meski begitu, patutlah perbuatan Yongki itu ditiru pemain-pemain lainnya. Liga Indonesia mungkin tidak seperti liga luar yang diurus secara profesional. Di Indonesia sering kita lihat pemain hanya berada semusim di sebuah klub. Musim berikut mereka pindah ke klub lain meski ke klub musuh bebuyutan. Ini berakibat “ikatan batin” tidak tercipta sehingga suporter pun terkesan tak acuh. Merayakan gol ke bekas klub pun dirayakan seperti biasa, bahkan berlebihan. 

Mungkin hanya ada satu-dua pemain dari setiap klub yang bisa bermain lama di klub Indonesia. Di antara mereka bahkan menjadi ikon. Ketika memutuskan hengkang, suporter pun merasa keberatan. Inilah yang salah satunya dilakukan Eka Ramdani. Si Ebol yang sudah membela klub itu semenjak belasan tahun pergi begitu saja musim ini ke Persisam. Hal ini tentu menyakiti hati bobotoh di seluruh penjuru dunia. 

Mengenang kembali Batistuta, saya berharap agar makin banyak pemain yang menganggap klub yang dibelanya “lebih dari sekedar klub”. Semboyan ini bukanlah milik Barcelona semata. Tapi bisa juga untuk klub-klub lain di seluruh dunia. Termasuk Indonesia tentu saja.

Komentar

Terpopuler

You’ll Never RACIST Alone, Suarez!

Kehebatan Barcelona: Tiki-taka, La Masia, dan Wasit!

Yang Kurang dari Penjelasan Ilmuwan tentang Lionel Messi